Alex Indra: Tanaman Endemik Kratom dan Gambir Jadi Prioritas Hilirisasi

Laporan: Juven Martua Sitompul
Rabu, 01 Oktober 2025 | 14:28 WIB
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Alex Indra Lukman. Istimewa
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Alex Indra Lukman. Istimewa

SinPo.id - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Alex Indra Lukman menilai tanaman endemik khas Indonesia seperti Kratom di Kalimantan dan Gambir di Sumatra Barat (Sumbar) jadi prioritas utama hilirisasi dan industrialisasi yang tercatat sebagai urutan kelima Asta Cita Presiden Prabowo.

Ini disampaikan Alex usai menghadiri ekspor tanaman Kratom (mitragyna speciosa) sebanyak 343,5 ton atau senilai Rp15,4 miliar ke India, melalui Pelabuhan Dwikora Pontianak, Selasa, 30 September 2025.

"Tadinya, saya pikir, kehadiran rombongan Komisi IV DPR RI ke Kalimantan ini, tak sekadar menyaksikan ekspor Kratom. Bayangan saya, kehadiran kami untuk ikut menyelesaikan berbagai perdebatan dalam upaya ekspor tanaman herbal ini," kata Alex dalam keterangannya, Jakarta, Rabu, 1 Oktober 2025.

Di momen dialognya dengan stakholder Kratom di Provinsi Kalimantan Barat, Alex merefleksikan Gambir yang jadi tanaman endemik di Provinsi Sumatra Barat. Sejak tahun 2000-an lalu, kata dia, Gambir asal Sumatra Barat telah memasok 85 persen kebutuhan dunia.

Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu mengungkapkan pasokan Gambir untuk kebutuhan dunia itu diproduksi petani dari dua daerah saja di Sumatra Barat, yakni Kabupaten Limapuluh Kota dan Pesisir Selatan. 

"Sayangnya, hilirisasi dari gambir berupa Katekin, sampai sekarang masih belum mampu kita hasilkan. Padahal, katekin sangat dibutuhkan industri kosmetik dan farmasi yang notabene memiliki nilai jual jauh lebih mahal dari sekadar gambir," kata Alex.

Di sisi lain, Alex menilai nasibnya akan berpotensi sama dengan produk Gambir dari Sumatra Barat jika hilirisasi Kratom tak diurus secara serius.

"Kita masih sibuk bertengkar dengan dampak negatif Kratom, sementara bangsa lain telah sukses dengan produk turunan hasil hilirisasi dan industrialisasi Kratom," tegas dia.

Untuk itu, Ketua PDI Perjuangan Sumatra Barat ini berharap setiap stakeholder dapar memanfaatkan riset-riset maupun kajian-kajian yang dilakukan pemerintah dan perguruan tinggi untuk menutup sisi negatif dari apapun jenis tanaman endemik yang ada di Indonesia.

"Saat ini, waktu dan energi kita lebih banyak membahas dampak negatif. Padahal, jika kita terus bicara sisi negatif, air putih ini saja punya, jika dikonsumsi berlebihan," kata dia.

Tanaman Kratom ini sempat tersandera oleh berbagai regulasi terkait statusnya yang masih terlarang. Di antaranya, Surat Edaran Kepala BPOM No HK.04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna Speciosa (kratom) dalam obat tradisional dan suplemen kesehatan.

Kemudian, BNN mengkategorikan daun kratom sebagai NPS dan merekomendasikannya ke dalam jenis narkotika golongan 1 dalam UU Nomor 35 Tahun 2009. Alasannya, memiliki efek samping yang membahayakan, apabila penggunaannya tidak sesuai takaran.

NPS adalah new psychoactive substances atau zat yang disalahgunakan baik dalam bentuk murni maupun sediaan, yang tidak diatur oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961 atau Konvensi Zat Psikotropika 1971, yang dapat menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat.

Karena terdapatnya sisi negatif menurut aturan dua lembaga negara itu, pemerintah kemudian mengatur tata kelola dan tata niaga Kratom untuk keperluan ekspor. 

Aturan tersebut di antaranya, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang Yang Dilarang untuk Diekspor.

Kemudian, Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Dengan hadirnya dua beleid ini, ditetapkanlah bahwa kratom yang masuk kategori larangan ekspor, berupa daun dan remahan kasar. Sedangkan kratom remahan halus dan dalam bentuk bubuk, diizinkan untuk ekspor.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI