Kolom Agama KTP Ramai Diubah Jadi Penghayat Kepercayaan, MUI Tegas Menolak

Laporan: Tio Pirnando
Minggu, 21 September 2025 | 11:39 WIB
Ilustrasi logo Majelis Ulama Indonesia. (SinPo.id/dok. MUI)
Ilustrasi logo Majelis Ulama Indonesia. (SinPo.id/dok. MUI)

SinPo.id - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi fenomena meningkatnya permohonan ubah isi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi 'Penghayat Kepercayaan'. Kasus ini marak terjadi di beberapa daerah, termasuk Ponorogo Jawa Timur.

MUI menyatakan bahwa penghayat kepercayaan tidak bisa dikategorikan sebagai agama. Karena, suatu kepercayaan bisa dikategorikan sebagai agama jika memiliki sekurang-kurangnya tiga syarat, ada nabinya, ada kitab sucinya, dan ada ritual berikut tempat ibadahnya.

"Ketiga persyaratan ini tidak ada dalam penghayat kepercayaan. Jadi jelas, penghayat kepercayaan agama bukanlah agama," kata Ketua MUI Bidang Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Prof Utang Ranuwijaya dalam keterangannya, Minggu, 21 September 2025. 

Apalagi, lanjutnya, penghayat kepercayaan tak masuk ke dalam agama di Indonesia yang secara resmi diakui. Sebab, agama di Indonesia yang diakui secara resmi hanya Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Utang mengatakan, persoalan lainnya yang bisa timbul dari fenomena ini jika penghayat kepercayaan itu ada pada suatu agama tertentu. Misalnya pada masyarakat Islam, kemudiaan mereka melakukan ritual yang menyalahi akidah Islam karena bercampur dengan ajaran penghayat kepercayaan.

Untuk itu, tegas Utang, ritual penghayat kepercayaaan tidak dibenarkan dalam akidah Islam karena bisa menyesatkan umat.

"Ini artinya jelas menyalahi syariat Islam. Sikap MUI jelas tidak setuju dengan munculnya fenomena ini. Pemerintah diharapkan konsisten menetapkan agar kolom agama diisi dengan agama resmi yang diakui dan dianut oleh masyarakat," tegasnya.

Prof Utang meminta pemerintah tidak memberi peluang kepada masyarakat untuk mengosongkan kolom agama. Karena bisa dimaknai bahwa negara membolehkan penduduknya tidak beragama. Sebab, hal ini bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI.

"Fenomena ini cukup memprihatinkan. Ini fenomena baru yang dulunya tidak pernah ada. Lagi pula, meskipun beberapa tahun ke belakang muncul fenomena ini di beberapa tempat, tapi faktanya fluktuatif dan hanya puluhan atau bahkan belasan orang pemohon," ujarnya.

Prof Utang mengingatkan mengisi kolom agama di KTP dengan penghayat kepercayaan, akan berakibat kerancuan masyarakat dalam memahami agama, lantaran penghayat kepercayaan bukanlah agama. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI