Keputusan KPU Tutup Akses Dokumen Calon Presiden Dinilai Langkah Mundur Demokrasi

Laporan: Sigit Nuryadin
Selasa, 16 September 2025 | 13:36 WIB
Ilustrasi. (SinPo.id/Istimewa)
Ilustrasi. (SinPo.id/Istimewa)

SinPo.id - Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 731 Tahun 2025 yang menetapkan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan selama lima tahun dinilai sebagai kemunduran dalam prinsip demokrasi dan transparansi.

Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, mengungkapkan kekecewaannya atas keputusan KPU tersebut. 

Menurut Neni, kebijakan ini tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga berpotensi membahayakan proses politik nasional karena menutup akses publik terhadap informasi vital yang menentukan integritas para calon pemimpin bangsa.

“Dengan menutup dokumen seperti daftar riwayat hidup, profil singkat, rekam jejak, laporan harta kekayaan (LHKPN), dan surat keterangan lainnya, KPU secara efektif mengunci akses publik terhadap informasi penting. Ini bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin hak setiap warga untuk memperoleh informasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang terbuka dan transparan,” ujar Neni dalam keterangan resminya, Selasa, 16 September 2025.

Lebih lanjut, Neni menegaskan, KPU tidak boleh menggunakan alasan perlindungan data pribadi sebagai pembenaran menutup dokumen yang seharusnya terbuka untuk publik. 

“Menutupnya berarti mengunci hak rakyat untuk tahu dan melemahkan akuntabilitas pemilu. KPU adalah lembaga publik yang harus berintegritas, jangan sampai menjadi alat penguasa untuk kepentingan politik pragmatis,” tuturnya. 

Neni juga membandingkan dengan partai politik yang saat mendaftar ke KPU wajib menyerahkan dokumen yang bisa diakses publik. 

“Jika dokumen parpol bisa dibuka, mengapa dokumen pribadi capres-cawapres justru dikunci? Seharusnya capres-cawapres tunduk pada standar keterbukaan yang sama,” kata Neni. 

Berdasarkan hal tersebut, kata dia, DEEP Indonesia menyatakan sejumlah sikap kritis terhadap keputusan KPU, antara lain menilai adanya dugaan pelanggaran prinsip keterbukaan informasi yang semestinya hanya boleh dikecualikan secara terbatas, mengunci ruang demokrasi selama lima tahun sehingga publik kehilangan momentum menguji calon saat pemilu, dan menilai uji konsekuensi yang dilakukan KPU tidak transparan dan tidak dibuka ke publik.

Neni juga mengingatkan, keputusan ini berpotensi menggerus kepercayaan publik karena semakin tertutup, kecurigaan akan adanya sesuatu yang disembunyikan semakin kuat. Dia menegaskan KPU harus tetap independen dan berpihak pada rakyat, bukan elit politik.

“Atas dasar tersebut, DEEP Indonesia mendesak KPU mencabut Keputusan 731/2025 dan menggantinya dengan regulasi yang lebih seimbang. Data pribadi yang bersifat sensitif harus dilindungi, namun tidak boleh menghalangi hak publik untuk mengakses dokumen yang berkaitan dengan integritas calon presiden dan wakil presiden. Demokrasi hanya bisa tumbuh dengan transparansi, bukan menjadi ruang gelap dalam pemilu,” tandasnya. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI