Pendukung Tommy Robinson Serukan Ancaman Pembunuhan terhadap PM Keir Starmer di Aksi Anti-Migran London
SinPo.id - Pendukung aktivis sayap kanan Tommy Robinson menyerukan agar Perdana Menteri Inggris, Sir Keir Starmer, dibunuh saat aksi demonstrasi besar anti-migran bertajuk Unite The Kingdom di London, Sabtu 13 September 2025.
Dalam sebuah wawancara yang terekam video dengan mantan anggota dewan Partai Konservatif sekaligus penganut teori konspirasi, William Coleshill, seorang pengunjuk rasa terdengar berkata:
“Keir Starmer harus dibunuh, seseorang harus menembak Keir Starmer.”
Coleshill menanggapi bahwa Starmer seharusnya diadili lebih dulu dan “dieksekusi secara sah,” meski Inggris tidak memiliki hukuman mati.
Rekaman percakapan itu memicu kecaman luas di media sosial, dengan banyak warganet mendesak polisi segera menangkap pelaku. “Hukuman penjara menantinya,” tulis salah satu komentar.
Aksi Unite The Kingdom sendiri diikuti sekitar 110.000 orang, menjadikannya demonstrasi sayap kanan terbesar dalam sejarah Inggris. Namun, aksi tersebut diwarnai bentrokan dengan polisi, yang melaporkan telah menghadapi kekerasan serius, termasuk pelemparan botol, flare, dan serangan fisik. Hingga Sabtu malam, sembilan orang telah ditangkap.
Demonstrasi yang digagas Robinson, bernama asli Stephen Yaxley-Lennon, dimulai dari Stamford Street dekat Jembatan Waterloo dan berakhir di Whitehall. Banyak peserta membawa bendera Inggris serta foto Charlie Kirk, aktivis konservatif Amerika Serikat berusia 31 tahun yang ditembak mati saat berbicara di Universitas Utah awal pekan ini.
Selain massa pro-Robinson, hadir pula aksi tandingan dari kelompok Stand Up To Racism (SUTR) yang menghimpun sekitar 5.000 orang. Polisi berusaha memisahkan kedua kubu untuk mencegah bentrokan langsung.
Kepolisian Metropolitan London dalam pernyataan resminya menyebut pihaknya menghadapi “agresi signifikan” dan berjanji akan menindak lebih banyak pelaku yang telah diidentifikasi melalui rekaman.
Insiden ancaman pembunuhan terhadap Keir Starmer ini menambah ketegangan politik di Inggris, terlebih setelah gelombang protes anti-migran terus meningkat di tengah situasi keamanan yang rapuh.
