Mossad Tolak Operasi Rahasia di Qatar, Israel Gempur Doha dengan Serangan Udara
SinPo.id - Badan intelijen Israel, Mossad, dilaporkan menolak menjalankan operasi rahasia di Qatar untuk menargetkan pemimpin Hamas yang tengah melakukan pembicaraan di sana.
Menurut laporan The Washington Post yang mengutip dua sumber Israel, penolakan Mossad itu mendorong pemerintah Israel untuk melakukan serangan udara terhadap ibu kota Qatar, Doha, pada Selasa (9/9). Namun, serangan tersebut gagal menewaskan petinggi Hamas.
Direktur Mossad, David Barnea, disebut menentang rencana pembunuhan itu karena khawatir akan merusak hubungan dengan Qatar, yang selama ini berperan penting sebagai mediator upaya gencatan senjata dalam perang Israel–Gaza.
Sebagai gantinya, Israel mengerahkan 15 jet tempur yang melepaskan 10 rudal ke Doha. Serangan tersebut menewaskan enam orang, termasuk seorang pejabat keamanan Qatar. Namun, tidak ada satu pun pemimpin Hamas yang menjadi target tewas. Korban jiwa justru meliputi kerabat dan ajudan delegasi Hamas. Putra pemimpin Hamas berbasis Qatar, Khalil al-Hayya, yakni Hammam, turut meninggal.
Laporan Channel 12 Israel menyebut banyak pejabat keamanan negara itu sebenarnya menolak rencana serangan. Kepala Staf Angkatan Darat Eyal Zamir, Direktur Mossad David Barnea, hingga Penasihat Keamanan Nasional Tzachi Hanegbi disebut mendorong agar operasi ditunda.
Namun, keputusan tetap dijalankan atas dukungan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Katz, pejabat sementara Shin Bet yang dikenal sebagai “Mem,” dan Menteri Urusan Strategis Ron Dermer.
Serangan Israel ke Doha dilakukan saat delegasi Hamas berada di Qatar untuk membicarakan kesepakatan gencatan senjata. Tindakan ini memicu kecaman internasional, mengingat waktunya bertepatan dengan proses diplomasi.
Sebelumnya, agen Mossad terlibat dalam operasi besar, termasuk pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Iran pada Juli 2024, serangan kejutan Israel ke Iran pada Juni 2025, serta operasi rahasia melalui pager yang menargetkan anggota Hezbollah di Lebanon pada September 2024.

