Purbaya Guyur Dana 200 Triliun ke Perbankan, Ekonom Ingatkan Potensi Depresiasi Rupiah
SinPo.id - Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Denni Puspa Purbasari mengingatkan, kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang hari ini mulai menyalurkan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank milik negara (Himbara), harus dilakukan dengan hati-hati, terutama terkait likuiditas. Karena, ketika likuiditas meningkat dan suku bunga menurun, tidak memungkiri investor bisa saja menilai Indonesia tak lagi menarik untuk menempatkan modal.
"Akibatnya, dana mereka berpotensi dialihkan ke luar negeri. Apabila kondisi ini terjadi, kurs rupiah akan terdepresiasi, yakni melemah terhadap mata uang asing," kata Denni dalam keterangannya, Jumat, 12 September 2025.
Dari sudut pandang Ilmu Ekonomi, lanjut Denni, kebijakan yang akan dijalankan pemerintah sebaiknya ditujukan untuk mencapai keseimbangan baik internal maupun eksternal. Keseimbangan internal artinya tercapainya stabilitas ekonomi makro domestik yang ditandai dengan full employment dan inflasi yang stabil.
Sedangkan keseimbangan eksternal, ditandai dengan adanya stabilitas antara neraca transaksi berjalan dengan aliran modal internasional. Namun, kedua tujuan tersebut seringkali bertentangan.
Menurut Denni ketika negara mengimplementasikan kebijakan untuk mencapai stabilitas internal, di sisi lain berdampak negatif terhadap stabilitas eksternal pula. Pun sebaliknya, kebijakan yang ditujukan untuk mengejar stabilitas eksternal, dapat berdampak negatif terhadap stabilitas internal negara itu.
Baginya, membandingkan returns atau keuntungan dalam penanaman modal adalah perilaku rasional. Karena, modal akan selalu mengalir ke tempat yang paling memberikan returns tertinggi pada tingkat risiko yang sama.
"Pak Purbaya perlu menimbang ini, agar depresiasi yang terjadi tidak terlalu drastis yang menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan tidak lagi dapat dibiayai," ungkapnya.
Denni menerangkan, kebijakan likuiditas dalam perekonomian, merupakan ranah kebijakan moneter. Sesuai Undang-Undang, Bank Indonesia (BI) memiliki mandat untuk menjaga stabilitas rupiah, baik dari sisi inflasi maupun nilai tukar terhadap mata uang asing.
Merujuk pada statistik Neraca Pembayaran yang diterbitkan oleh BI, neraca transaksi dan finansial Indonesia mengalami perubahan di tahun ini. Hingga semester I 2025, neraca transaksi berjalan mencatat defisit (minus) sebesar US$ 3,2 miliar, sementara neraca finansial juga minus US$5,6 miliar.
Kondisi ini berbeda dengan tahun 2024, ketika neraca transaksi berjalan defisit, tetapi neraca finansial masih mencatat surplus (plus) meskipun tipis.
Menurutnya, defisit neraca finansial penyebabnya dipicu oleh keluarnya investasi portofolio, baik obligasi maupun saham yang senilai US$ 8 miliar.
Arus keluar tersebut tak mampu diimbangi dengan masuknya investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) yang hanya mencapai US$5 miliar. "Investasi portofolio sangat dipengaruhi oleh sentimen investor,” tukasnya.
Diketahui, selama tahun ini, rupiah memang hanya terdepresiasi sebesar 1,44 persen terhadap dolar AS. Namun, terdepresiasi sebesar 4,62 persen dengan Yuan, 8,17 persen dengan dolar Singapura, 8,68 persen dengan dolar Australia, dan 14,42 persen dengan Euro.
