Restorasi Jiwa Indonesia Dorong Para Pejabat Pulihkan Kepercayaan Publik
SinPo.id - Restorasi Jiwa Indonesia (RJI) memandang bahwa publik akan terobati luka-lukanya jika kebijakan yang dikeluarkan eksekutif maupun legislatif berpihak pada rakyat. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk para pejabat mengevaluasi diri mengatasi jurang ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.
"Dalam situasi ini, seruan rakyat jelas: pemimpin harus menutup jurang itu, bukan dengan retorika, melainkan dengan langkah nyata yang meringankan beban hidup sehari-hari," kata Founder RJI, Syam Basrijal dalam keterangannya, Rabu, 3 Agustus 2025.
Menurut Syam, setidaknya penyelenggara negara memiliki waktu 100 hari ke depan untuk melakukan perbaikan, mulai dari komunikasi publik, hingga kebijakan yang telah dikeluarkan dan memicu gejolak sosial.
"Maka, seratus hari ke depan menjadi ujian moral sekaligus momentum untuk memulihkan kepercayaan," tutur Syam.
Dalam perspektif sosial, Syam memandang bahwa aspek kebutuhan dasar masyarakat harus dibereskan secepat mungkin. Baik dari harga pangan, pendidikan dan lainnya.
"Prioritas utama adalah menstabilkan kebutuhan dasar rakyat. Harga beras yang terus melambung, LPG 3 kilogram yang kerap langka, hingga biaya pendidikan yang menekan keluarga kecil harus segera ditangani," ucapnya.
Syam menilai, publik akan tetap menaruh kemarahan kepada pemerintah dan DPR manakala program-program bombastis sekadar menjadi retorika belaka. Apalagi jika justru malah membuat sektor rill masyarakat terabaikan.
"Pemerintah tidak cukup hanya mengumumkan program, melainkan harus hadir di pasar, di dapur rakyat, di ruang belajar anak-anak. Subsidi harus benar-benar tepat sasaran, bukan sekadar angka di atas kertas," kata Syam.
"Moratorium sementara terhadap pajak dan pungutan yang mencekik, terutama di tingkat daerah, juga menjadi langkah penting untuk memberi ruang bernapas bagi rakyat," sambungnya.
Tak sekadar sektor ekonomi saja yang dibereskan. Perlu hadir juga transparansi yang menjadi aspek penting dan selalu menjadi obyek kritik tajam dari publik selama ini.
"Ekonomi saja tidak cukup. Kepercayaan publik hanya bisa tumbuh jika transparansi ditegakkan. DPR sebagai simbol representasi rakyat tidak boleh lagi menjadi ruang gelap privilese. Sudah saatnya dibuka dashboard kinerja yang bisa diakses siapa pun-menunjukkan kehadiran, produktivitas legislasi, hingga transparansi anggaran," terangnya.
"Dengan begitu, rakyat bisa menilai langsung apakah wakilnya benar-benar bekerja atau sekadar menikmati kursi empuk kekuasaan," lanjut Syam.
Di samping itu, dalam 100 hari ke depan pun ia sarankan pemerintah dan DPR serta seluruh pemangku kebijakan membuka ruang seluas-luasnya untuk rakyat dapat berdialog menyampaikan kritikan dan masukan yang konstruktif kepada mereka secara aman, nyaman dan damai.
"Dialog nasional menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar seremonial. Pemerintah, mahasiswa, buruh, komunitas ojol, akademisi, hingga ulama harus duduk setara di meja bundar. Mandatnya jelas: menata harga kebutuhan pokok, merumuskan SOP aksi damai agar tragedi tak berulang, serta mempercepat legislasi antikorupsi seperti RUU Perampasan Aset. Dari ruang dialog inilah bisa lahir konsensus baru—bahwa demokrasi bukanlah arena arogansi elite, melainkan wadah untuk menghidupi rakyat," terang Syam Basrijal.
Jika semua saran itu dilakukan oleh para elite dan pemangku kebijakan di Republik Indonesia, Syam Basrijal percaya Indonesia akan kembali pulih dan bertumbuh karena telah terciptanya harmonisasi antara rakyat dan pemangku kebijakan.
Karena keberhasilan 100 hari pemulihan ini juga bergantung pada komunikasi yang rendah hati. Tak boleh ada lagi ucapan pejabat yang merendahkan rakyat, apalagi di tengah krisis. Setiap kata yang keluar harus melewati saringan empati: apakah ini menambah martabat rakyat atau justru menyinggung luka mereka. Dalam masa transisi ini, kerendahan hati jauh lebih bernilai daripada sekadar mempertahankan gengsi politik.
"Jika seratus hari pertama ini bisa dijalankan dengan komitmen, maka rakyat akan melihat tanda bahwa pemerintah benar-benar mendengar. Bukan berarti semua masalah selesai, tetapi arah perjalanan bangsa akan mulai bergerak ke jalur yang benar: dari ketidakpercayaan menuju pemulihan, dari luka menuju rekonsiliasi. Keberanian untuk mengambil keputusan berpihak pada rakyat adalah bahan bakar utama yang bisa memperkuat legitimasi pemerintahan ke depan," tandasnya.
