Komisi XI DPR Minta OJK Siapkan Program untuk Mendukung BPR Bantu UMKM
SinPo.id - Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mendorong agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam diskusi-diskusi ke depan lebih menyiapkan program yang memberikan daya dukung kepada Bank Perekonomian Rakyat (BPR).
"(OJK) Silakan mengatur dan mengawasi BPR, tetapi juga memberikan ruang hidup yang memadai kepada BPR untuk tetap tumbuh, berkembang dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional dalam segmentasi mereka menyasar kredit di UMKM tersebut," kata Misbakhun kepada wartawan, Jakarta, Jumat, 8 Agustus 2025.
Misbakhun menyampaikan hal itu menanggapi permasalahan yang dihadapi BPR, di antaranya pernyataan Direktur Utama Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Nusantara Bona Pasogit (NBP) Hendi Apriliyanto yang menyoroti POJK Nomor 7 Tahun 2024 tentang BPR dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah.
Menurut Misbakhun, saat ini Komisi XI DPR sedang mendiskusikan secara intensif terkait permasalahan Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Dia menyebut hal ini sesuai mandat yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
"Mengapa kami sampaikan melakukan diskusi dengan intensif karena di UU P2SK itu banyak aturan-aturan yang berkaitan dengan BPR dilakukan pengaturan, termasuk di dalamnya adalah masalah konsolisasi BPR. Bagaimana BPR itu diberikan ruang konstribusi terhadap perekonomian dan memberikan dukungan terhadap UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah)," ujar Misbakhun.
Menurut Misbakhun, BPR juga diberikan kesempatan oleh OJK untuk melakukan IPO (Initial Public Offering) atau go public dan sebagainya.
"Kami ingin menyampaikan bahwa konsolidasi seperti apa yang dilakukan oleh OJK terhadap BPR," ujar Misbakhun.
Sementara ini, kata Misbakhun, OJK mengambil langkah untuk melakukan merger dan akuisisi termasuk mulai penerapan sistem PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) 71.
"Ini prinsip akuntasi dimana resiko kredit itu harus disiapkan dengan pencadangan kecukupan modal," ujar politikus Partai Golkar ini.
Misbakhun menekankan pentingnya memperhatikan rasio kecukupan modal berupa pencadangan. "Pemerintah memberikan keberpihakan yang kuat terhadap UMKM," kata dia.
Oleh karena itu, Misbakhun mengatakan penting untuk melakukan diskusi secara mendalam terkait BPR. "Saya setuju bahwa BPR harus memperbaiki tata kelola, tetapi jangan kemudian tata kelola mengorbankan bagaimana dukungan BPR terhadap sektor MKM," ucap dia.
"Sektor UMKM ini adalah sektor yang sangat krusial dan sangat vital, sangat penting dalam rangka memberikan daya dukung terhadap kelompok ekonomi kecil yang menjadi tulang ekonomi nasional," timpal Misbakhun.
Menurut dia, kalau dukungan terhadap UMKM ini mengecil di mana UMKM banyak mendapatkan porsi kredit datang dari BPR, dan BPR juga mendapatkan suplai dananya dari chanelling maka ini memberikan resiko yang besar terhadap perekonomian secara nasional.
"Untuk itu, maka OJK seharusnya dalam diskusi-diskusi ke depan dengan Komisi XI DPR harus lebih menyiapkan program bagaimana memberikan daya dukung kepada BPR," ujar Misbakhun.
BPR Ingin Berkembang Sesuai Kebutuhan Bisnis
Direktur Utama Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Nusantara Bona Pasogit (NBP) Hendi Apriliyanto mewakili berbagai BPR di Tanah Air menyampaikan bahwa BPR ingin berkembang sesuai dengan analisa dan kebutuhan bisnis, tanpa paksaan dari otoritas atau pihak lainnya.
Hendi meminta penggabungan BPR untuk pengembangan bisnis agar dilakukan hanya berdasarkan analisa dan kebutuhan bisnis, bukan dengan paksaan. Hendi menyampaikan hal itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Hendi, perlu membatalkan kewajiban penggabungan BPR sebagaimana ketentuan Pasal 100, Pasal 130 dan Pasal 131 POJK Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah.
Dengan penggabungan paksa, kata Hendi, akan berdampak terhadap perubahan karakteristik dan pengelolaan BPR yang sejatinya merupakan bank di tingkat daerah/kabupaten/kota, bukan di kepulauan utama.
Lalu, penggabungan paksa BPR berpotensi membuat pengurangan tenaga kerja, dari tingkat pengurus BPR (direksi dan komisaris) hingga karyawan sehingga berpotensi menambah tingkat pengangguran.
Kemudian, kata Hendi, akan berdampak terhadap perekonomian daerah, yang mana pemerintah daerah mengharapkan uang yang berasal dari daerah tidak keluar dari daerah wilayah mereka.
Menurut Hendi, apabila penggabungan Pemilik Saham Pengendali (PSP) yang sama diwajibkan, akan memungkinkan dana yang sebelumnya ada di daerah (kabupaten/kota) keluar ke daerah letak kantor pusat BPR hasil penggabungan.
"Hal ini tentu menyebabkan dampak negatif perekonomian di daerah tersebut," ujar Hendi.
Hendi menyampaikan bahwa pengaturan Pasal 100 dan Pasal 130 tidak memiliki dasar hukum, karena tidak ditemukan perintah/ amanah dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang mengatur adanya penggabungan atau peleburan dalam 1 wilayah pulau atau kepulauan utama, bahkan tidak ada POJK khusus yang mengatur tentang penggabungan BPR dalam satu kepemilikan PSP dalam 1 wilayah pulau atau kepulauan utama.
Apabila berkaca dari POJK No. 39/POJK.03/2017 Tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Bank Umum), yang mengatur bahwa diseluruh wilayah Indonesia hanya boleh satu bank dan satu PSP bank atau Single Presence Policy (SPP), Ia menyebut peraturan ini hanya berlaku bagi Bank Umum.
Sekalipun demikian, menurut dia, kebijakan SPP bank umum yang telah diatur itu pun masih harus dipertanyakan, apakah peraturan tersebut dibuat berdasarkan hukum dari undang-undang (UU).
"Seharusnya aksi korporasi untuk melakukan penggabungan atau peleburan tidak boleh dipaksakan, karena hal itu harus dilakukan sesuai dengan analisa bisnis/kebutuhan semata (secara alamiah), baik karena kebutuhan akan pemenuhan permodalan, kebutuhan akan peningkatan daya saing dan kebutuhan lainnya yang relevan dalam bisnis," ujar Hendi.

