Menag Tegaskan Bahaya Nasionalisme Eksklusif
SinPo.id - Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan pentingnya nasionalisme inklusif sebagai fondasi utama dalam menjaga keberagaman dan persatuan bangsa. Ia memperingatkan bahwa nasionalisme eksklusif justru berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah kompleksitas geopolitik global yang semakin menajam.
Pesan tersebut disampaikan Menag dalam acara Dialog Nasional Ormas Islam dan Organisasi Kepemudaan Islam (OKP) yang mengusung tema “Menjaga Harmoni dan Memperkuat Wawasan Kebangsaan”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama di Auditorium HM. Rasjidi, Kantor Kemenag RI, Jakarta.
“Nasionalisme yang eksklusif hanya akan melahirkan segregasi. Kita butuh nasionalisme inklusif yang mampu mengintegrasikan keberagaman tanpa menegasikan identitas agama, budaya, maupun etnis,” ujar Menag.
Menag menjelaskan, model nasionalisme Indonesia yang bersandar pada Pancasila memungkinkan kehidupan beragama yang harmonis dan berakar pada nilai-nilai lokal. Ia menegaskan pentingnya mengindonesiakan ajaran agama agar sesuai dengan konteks sosial budaya Nusantara, bukan meniru mentah-mentah praktik luar.
“Islam bukan dari Indonesia, Hindu bukan dari Indonesia, Kristen pun bukan. Tapi semua bisa tumbuh dalam konteks kebudayaan Indonesia. Di sinilah pentingnya proses indonesianisasi ajaran, bukan arabisasi, indiaisasi, atau westernisasi,” imbuhnya.
Menag juga menyoroti posisi Indonesia sebagai model Islam moderat yang mampu berdialog dengan demokrasi. Ia menilai, di tengah meningkatnya ekstremisme global, Islam Indonesia menjadi cahaya baru dari Timur yang mempertemukan iman, kebudayaan, dan kemanusiaan.
Wamenag: Ormas Islam Penjaga Konsensus Kebangsaan
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Agama Romo H. R. Muhammad Syafi’i menegaskan bahwa Pancasila, UUD 1945, dan NKRI adalah konsensus final yang harus dijaga bersama, terutama oleh ormas Islam sebagai kekuatan sosial yang telah berperan dalam sejarah kebangsaan.
“Penerimaan umat Islam terhadap Pancasila dan UUD 1945 adalah kontribusi historis dalam mendirikan Republik ini. Itu bukan produk kompromi, tetapi amanat perjuangan,” ujar Romo Syafi’i.
Ia mengingatkan bahaya ideologi transnasional dan politik identitas yang kerap memanfaatkan agama sebagai alat polarisasi. “Ormas Islam harus jadi filter, bukan fasilitator. Jangan biarkan agama dijadikan alat untuk memecah persatuan,” tegasnya.
Romo Syafi’i juga mengajak generasi muda untuk mewarisi semangat nasionalisme yang religius. “Jadilah santri yang nasionalis, atau nasionalis yang berspirit santri. Itulah kekuatan kita sebagai bangsa,” ucapnya.
Moderasi dan Dialog sebagai Pilar
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, menambahkan bahwa dialog antar-ormas merupakan bentuk nyata sinergi antara negara dan masyarakat sipil berbasis keagamaan. Menurutnya, ormas Islam bukan hanya pewaris nilai spiritual, tapi juga aktor strategis dalam membangun peradaban yang moderat dan inklusif.
“Kita bukan hanya berbagi tugas, tapi juga berbagi tanggung jawab terhadap masa depan Indonesia,” tandas Abu.
Acara ini turut dihadiri sejumlah tokoh nasional, antara lain:
Asisten Deputi Kesatuan Bangsa Kemenkopolhukam, Cecep Agus Supriyanta
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Islah Bahrawi
Guru Besar UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto
Staf Khusus Menteri Agama, Faried F. Saenong
Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Zayadi
Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat
Dialog ini diharapkan menjadi forum strategis untuk menguatkan narasi kebangsaan, memperkuat ukhuwah keumatan, serta menghadirkan Islam sebagai kekuatan pemersatu, bukan pemisah.

