Produk Indonesia Makin Diminati di China, Potensi Transaksi Bisnis Capai Rp5,86 Miliar

Laporan: Tio Pirnando
Kamis, 17 Juli 2025 | 19:14 WIB
Indonesia di 31st China Lanzhou Investment and Trade Fair 2025. (SinPo.id/ Dok. KBRI Beijing)
Indonesia di 31st China Lanzhou Investment and Trade Fair 2025. (SinPo.id/ Dok. KBRI Beijing)

SinPo.id - Indonesia berhasil mencatatkan potensi kerja sama bisnis (B-to-B) senilai US$ 360 ribu atau setara Rp 5,86 miliar, dalam ajang bergengsi 'the 31st China Lanzhou Investment and Trade Fair (CLITF) 2025', yang berlangsung 6-10 Juli di Gansu International Convention and Exhibition Center, Lanzhou. Potensi transaksi ini sebagian besar berasal dari biji kopi Indonesia dalam kemasan yang sudah dipanggang (roasting). 

"Pameran ini tidak hanya berorientasi pada transaksi jangka pendek, tetapi juga membuka ruang kolaborasi jangka panjang dengan mitra dagang potensial di Tiongkok, terutama di kawasan Barat Laut seperti Kota Lanzhou, Xi'an, dan Yinchuan. Kami mendorong kolaborasi para pelaku usaha Indonesia dengan pembeli Tiongkok di sektor pertanian, makanan, dan energi terbarukan di kawasan ini," kata Atase Perdagangan RI Beijing Budi Hansyah dalam keterangannya, Kamis, 17 Juli 2025. 

Budi menjelaskan, Paviliun Indonesia yang menempati area seluas 162 m² di Zona Silk Road International Cooperation menghadirkan produk-produk unggulan.  Antara lain, kopi (biji kopi dan kopi kemasan), mi instan, makanan ringan, sarang burung walet, kerajinan tangan, perhiasan, batik, minyak aroma terapi, serta gaharu. 

Menurut Budi, produk-produk Indonesia mendapat sambutan positif dari pengunjung dan media lokal. Pengunjung internasional tampak antusias terhadap cita rasa unik produk makanan dan minuman serta keindahan produk kerajinan tangan yang ditampilkan.

Selain potensi transaksi, Indonesia juga mencatat transaksi ritel langsung senilai US$ 12,36 ribu atau sekitar Rp201,16 juta untuk produk mi instan, kopi kemasan dan biji kopi, minyak aromaterapi, baju batik, perhiasan, gaharu, dan makanan ringan.

Dalam pameran tersebut, Indonesia berpartisipasi sebagai Guest Country of Honor. Predikat ini memberi Indonesia eksposur istimewa dalam promosi produk unggulan, kunjungan Paviliun Indonesia oleh perwakilan Pemerintah Provinsi Gansu, Tiongkok, desain area pameran yang mencolok, dan letak lebih strategis yang menonjol dibandingkan partisipan lainnya.

"Keikutsertaan Indonesia sebagai Guest Country of Honor menjadi bentuk pengakuan terhadap peran strategis Indonesia sebagai mitra dagang utama Tiongkok," kata Budi.

Mengusung desain tropis khas Indonesia dengan perpaduan elemen budaya tradisional dan dekorasi modern, Paviliun Indonesia menjadi salah satu daya tarik utama di arena pameran. 

Paviliun dibuka secara resmi oleh Duta Besar RI untuk Tiongkok Djauhari Oratmangun, dihadiri perwakilan Pemerintah Kota Lanzhou, serta perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Pangan RI. CLITF merupakan ajang tahunan berskala besar yang telah diadakan sejak 1993 dan menjadi salah satu pameran perdagangan utama di Tiongkok Barat Laut. 

Fokus sektor kerja sama mencakup pertanian modern, energi baru, pariwisata budaya, dan perdagangan internasional.

Hingga Mei 2025, Tiongkok tetap menjadi negara tujuan ekspor utama bagi Indonesia. Nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Tiongkok tercatat mencapai US$ 24,25 miliar atau sekitar 22,9 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia pada periode Januari-Mei 2025. Produk-produk utama yang diekspor Indonesia ke Tiongkok mencakup besi dan baja, batu bara, nikel, serta minyak kelapa sawit. 

Lonjakan permintaan dari sektor industri dan energi Tiongkok turut mendorong peningkatan volume ekspor Indonesia, termasuk untuk komoditas setengah jadi yang digunakan dalam industri berat dan manufaktur Tiongkok. 

Peluang ekspor ini turut didukung dengan adanya kebijakan Pemerintah Tiongkok untuk mendorong kemandirian industri strategis melalui inisiatif "Made in China 2025", memperluas kapasitas produksi, dan mendorong ekspor produk teknologi serta bahan baku seperti plastik polipropilena (PP). 

Meskipun memicu kekhawatiran utang serta proteksionisme, kebijakan ini dipandang sebagai fondasi untuk memperkuat posisi Tiongkok di rantai pasok global. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI