Iran Tinjau Pesan AS soal Perundingan Nuklir, Tapi Tegaskan Tak Lagi Percaya Washington
SinPo.id - Iran mengungkapkan tengah meninjau pesan dari Amerika Serikat terkait kemungkinan dimulainya kembali perundingan nuklir, di tengah ketegangan yang belum surut pasca-serangan udara ke fasilitas nuklir Iran bulan lalu. Hal ini disampaikan oleh Ali Larijani, penasihat Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, pada Jumat 11 JULI 2025seperti dikutip dari kantor berita ISNA.
“Kami tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap Amerika,” ujar Larijani tegas.
Larijani menuding Amerika masih menggunakan pendekatan koersif dalam hubungan internasional.
“Pendekatan mereka selalu sama: menyerah atau berperang. Tapi Timur Tengah yang baru akan menjadi Timur Tengah yang tangguh,” tambahnya.
Pernyataan Larijani ini muncul tak lama setelah Presiden AS Donald Trump mengklaim bahwa Iran telah meminta pertemuan terkait program nuklir. Namun, klaim itu langsung dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Iran.
“Kami tidak mengajukan permintaan apa pun kepada pihak AS terkait pertemuan,” tegas juru bicara Kemenlu Iran Esmaeil Baqaei, seperti dikutip kantor berita Tasnim yang dikelola negara.
Trump sebelumnya menyatakan kepada wartawan di Gedung Putih bahwa perundingan dengan Iran telah dijadwalkan.
“Kami telah menjadwalkan perundingan dengan Iran, dan mereka ingin berunding,” ucapnya dalam konferensi pers bersama PM Israel Benjamin Netanyahu.
Ketidakpercayaan Iran terhadap AS kian menguat setelah serangan besar-besaran yang dilakukan Amerika pada 22 Juni 2025. Saat itu, pesawat pengebom B-2 Spirit menjatuhkan 14 bom penghancur bunker GBU-57 (MOP) ke situs nuklir Fordo dan Natanz. Selain itu, rudal jelajah Tomahawk dari kapal selam AS juga menghantam fasilitas di Isfahan.
Serangan itu terjadi hanya dua hari sebelum putaran keenam perundingan nuklir yang rencananya digelar pada 15 Juni, namun gagal terlaksana karena Israel lebih dulu meluncurkan serangan ke berbagai target di Iran pada 13 Juni.
Konflik bersenjata antara Iran dan Israel berlangsung selama 12 hari, sebelum akhirnya gencatan senjata yang difasilitasi oleh AS dimulai pada 24 Juni.
Meski Iran masih membuka ruang tinjauan terhadap pesan AS, pernyataan-pernyataan keras dari para pejabat tinggi Teheran menunjukkan bahwa proses negosiasi tidak akan mudah. Iran menuntut jaminan konkret dan perlindungan terhadap kedaulatan serta program nuklir damainya.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketegangan geopolitik di Timur Tengah belum akan mereda dalam waktu dekat, terlebih jika perundingan nuklir kembali dikaitkan dengan militerisasi dan tekanan sepihak.

