Perludem: Gugatan ke MK soal Pemisahan Pemilu Bukan Sikap Reaktif

Laporan: Sigit Nuryadin
Rabu, 09 Juli 2025 | 22:25 WIB
Logo Perludem (SinPo.id/ Dok. Perludem)
Logo Perludem (SinPo.id/ Dok. Perludem)

SinPo.id - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama, menegaskan, dorongan untuk memisahkan pemilu nasional dan lokal bukanlah sikap reaktif, melainkan hasil riset panjang dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dan 2024.

Hal tersebut disampaikan Heriok dalam diskusi yang digelar oleh Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD) di Media Center Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Rabu, 9 Juli 2025.

Menurut Heroik, sejak awal Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuka ruang melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2017, yang menyebutkan adanya enam model desain keserentakan pemilu yang konstitusional. 

“Perludem waktu itu sudah diminta menjadi ahli. Kami menyampaikan bahwa untuk negara dengan sistem presidensial multipartai, pemilu sebaiknya dipisahkan antara nasional dan lokal,” ujar Heriok. 

Kendati demikian, kata dia, MK saat itu menetapkan desain serentak penuh dengan lima surat suara seperti yang diterapkan pada 2019 dan 2024. Desain ini kemudian menimbulkan banyak masalah, baik dari sisi pemilih maupun penyelenggara.

"Tujuan awalnya adalah efisiensi dan efektivitas. Tapi nyatanya, kami melihat 17 juta suara tidak sah, dan beban kerja luar biasa, terutama di KPPS. UGM mencatat beban kerja KPPS bisa mencapai 20 jam. Itu bukan hanya tidak efisien, tapi juga membahayakan," ungkapnya. 

Dia menuturkan, desain pemilu serentak juga belum menghasilkan sistem pemerintahan yang stabil. Menurutnya, presiden tetap menghadapi situasi minoritas di parlemen karena efek keserentakan tak sejalan dengan perilaku pemilih. 

“Ada asumsi bahwa pemilih akan memilih presiden dari partai yang sama dengan legislatif, tapi itu tidak terjadi,” kata Heriok. 

Selain itu secara kelembagaan, lanjutnya, sistem ini menciptakan kekosongan waktu antar tahapan dan memperumit koordinasi penyelenggara. 

“Irisan tahapan antara pemilu nasional dan lokal menimbulkan tumpang tindih teknis, tidak efisien secara tata kelola, dan justru menjadi disinsentif bagi partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi,” jelasnya.

Adapun MK kini mulai mengubah pandangan, dalam Putusan 135/PUU-XXI/2023, MK menyebutkan bahwa pemilu nasional dan lokal dapat dipisahkan, dengan jeda waktu antara 2 hingga 2,5 tahun. Putusan ini, menurutnya mengafirmasi argumentasi Perludem selama ini.

“Dengan kondisi faktual dan obyektif yang terjadi, MK telah menyesuaikan pandangannya. Kini, kami mendorong kodifikasi UU Pemilu yang memuat pemilu serentak nasional dan serentak lokal secara terpisah, agar pemilu ke depan bisa lebih demokratis dan manusiawi,” tandasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI