Kemendikbud 'Pasung' Fungsi Kritis Kampus

Laporan: Lilis
Minggu, 11 Oktober 2020 | 14:55 WIB
Demo menolak UU Cipta Kerja (Agam WR/ Indonesia Globe)
Demo menolak UU Cipta Kerja (Agam WR/ Indonesia Globe)

sinpo - Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim menanggapi imbauan Kemendikbud agar mahasiswa tak ikut demonstrasi dan kampus mensosialisasikan UU Cipta Kerja. Ia menilai imbauan itu mengandung kontradiksi yang mendalam.

"Sebab Draf Final UU Ciptaker saja tak bisa diakses oleh kalangan akademisi, aktivis masyarakat sipil, bahkan oleh publik umumnya hingga sekarang. Apalagi ditambah keterangan DPR jika Draf tersebut belum final, lantas yang disahkan ketika sidang Paripurna itu apa? Terus apanya yang harus disosialisasikan oleh Universitas," kata Satriwan dalam keterangannya, Minggu (11/10/2020).

Ia menambahkan kemendikbud sudah membuat program "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka", bahkan jadi slogan dimana-mana. Surat Kemendikbud ini merupakan bentuk "intervensi" nyata Kemdikbud, sehingga menjadikan kampus tidak lagi merdeka. 
"Akhirnya kampus Merdeka tak ubahnya sekedar jargon kosong, di saat Kemdikbud mencabut kemerdekaan akademik universitas sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan nalar kritis. Ini adalah bukti bahwa kebijakan Kemdikbud kontradiktif," katanya.

Ia menyebutkan di satu sisi Kemendikbud membuat kebijakan Kampus Merdeka, namun di sisi lain memasung kemerdekaan kampus dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai wujud Kampus Merdeka. Kampus sudah semestinya menyiapkan para generasi muda yang berperan sebagai intelektual organik, intelektual yang senafas dengan rakyat, betul-betul merasakan apa yang dirasakan para buruh, masyarakat adat, aktivis lingkungam, dan lainnya yang merasa dirugikan UU Ciptaker ini. 

"Apalagi yang namanya mahasiswa, belajar tak hanya di ruang kuliah yang terbatas tembok, ruang kuliah sesungguhnya para mahasiswa adalah lingkungan masyarakat itu sendiri, mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas," katanya.

Ia menambahkan pada poin nomor 6 dikatakan "menginstruksikan para dosen senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritisi UU Ciptaker", justru kritik itulah yang tengah dilakukan mahasiswa. Adapun aksi turun ke jalan merupakan wujud aspirasi dan ekspresi mereka terhadap langkah-langkah DPR dan Pemerintah yang abai terhadap aspirasi mereka bersama rakyat lainnya.  

"Semestinya Kemendikbud memberi apresiasi kepada para mahasiswa yang sedang melakukan aktivitas kritisnya kepada DPR, karena demikianlah tugas seorang inetelektual. Pastinya aksi demonstrasi yang tidak merusak fasilitas umum misalnya," katanya.

Menurutnya, kemendikbud tak usah alergi dengan kekritisan para mahasiswa dan dosen terhadap UU Ciptaker ini. Itu semua merupakan wujud kebebasan akademik, Kemdikbud tak seharusnya mengekang. Lagipula kampus punya otonomi yang mesti dihargai Kemdikbud.

"Munculnya reaksi para mahasiswa, buruh, dan kalangan sipil lainnya terhadap UU ini membuktikan, jika pemerintah dan DPR tidak transparan dalan proses pembuatannya, tak membuka ruang dialog, dan partisipasi kepada masyarakat sebagaimana ciri utama negara demokrasi. Para mahasiswa sesungguhnya sedang menunaikan tugasnya sebagai kelompok intelektual yang tak berjarak dengan rakyat. Kemdikbud hendaknya paham jika kampus itu bukan lembaga tukang stempel," katanya.
 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI