Menghadang Gelombang Perang Kekuasaan: Apakah Framework ASEAN Masih Relevan di Tengah Kompetisi Global?

Dinda Deanty Dwiavini Lubis*
Rabu, 02 Juli 2025 | 09:51 WIB
Presiden Prabowo Subianto menghadiri KTT ke-16 BIMP EAGA. (SinPo.id/Sekretariat Presiden)
Presiden Prabowo Subianto menghadiri KTT ke-16 BIMP EAGA. (SinPo.id/Sekretariat Presiden)

SinPo.id - Di era sekarang, dunia sedang dilanda oleh gelombang besar rivalitas kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia. Ketegangan politik dan militer antarnegara ini tidak hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal pengaruh dan dominasi di berbagai kawasan, termasuk Asia. Kondisi ini menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai pusat perhatian karena posisinya yang sangat strategis dan menjadi medan pertarungan pengaruh kekuatan besar.

Tak bisa dipungkiri, kawasan ini tidak lepas dari dampak ketegangan tersebut. Sejumlah negara di kawasan terkena imbas, mulai dari sengketa teritorial di Laut Tiongkok Selatan, hubungan bilateral yang tegang, hingga ketidakpastian geopolitik yang melingkupi kawasan. Dalam kondisi yang penuh teka-teki ini, keberadaan ASEAN sebagai wadah kerja sama antarnegera di Asia Tenggara menjadi sangat penting. ASEAN yang didirikan pada tahun 1967 memiliki prinsip utama yaitu non-interference (tidak mencampuri urusan dalam negeri) dan musyawarah mufakat sebagai dasar pengambilan keputusan.

Prinsip non-interference ini sebenarnya menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. Dalam buku The ASEAN Way (Corbacho & Peiris, 2018) dinyatakan bahwa:“The cornerstone of ASEAN is its tradition of non-interference, which has helped maintain regional stability but also restricts possible collective responses to crises."

Kekuatan dari prinsip ini, menurut Tucek adalah menjaga stabilitas kawasan. Namun, di sisi lain, prinsip tersebut sering dianggap sebagai penghalang bagi ASEAN untuk tanggap dan tegas dalam mengatasi masalah besar seperti pelanggaran hak asasi manusia atau sengketa yang semakin meluas.

Seiring waktu berjalan dan dinamika geopolitik semakin kompleks, muncul pertanyaan besar: Apakah framework ASEAN, yang selama ini sangat bergantung pada prinsip non-interference dan musyawarah, masih relevan dan mampu mengatasi gelombang perang kekuasaan ini? Jika prinsip ini masih dianggap memadai, apakah ASEAN dapat menjaga stabilitas di tengah perang kekuasaan yang semakin panas? Jika tidak, apa yang perlu diubah agar ASEAN tetap bisa bersikap tegas namun tetap menjaga identitas sebagai kawasan yang damai dan harmonis?

Kondisi ini semakin relevan karena kawasan Asia Tenggara saat ini menghadapi tantangan besar, mulai dari persengketaan di Laut Tiongkok Selatan, ketidakpastian ekonomi, hingga ketegangan politik domestik di negara-negara anggotanya. Oleh karena itu, penting untuk memahami dasar dan mekanisme ASEAN, serta potensi adaptasinya di masa depan.

ASEAN dan Prinsip Non-Interferensi: Fondasi Stabilitas Kawasan

ASEAN atau Association of Southeast Asian Nations merupakan salah satu organisasi internasional paling penting di kawasan Asia Tenggara. Didirikan pada tahun 1967, ASEAN lahir dalam konteks geopolitik yang penuh ketegangan dan ketidakpastian. Saat itu, negara-negara di kawasan menghadapi berbagai ancaman, mulai dari konflik internal, sengketa perbatasan, hingga ketegangan internasional dengan kekuatan besar yang sedang berlomba memperebutkan pengaruh di Asia Tenggara.

Tujuan utama ASEAN kala itu adalah untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan. Selain itu, organisasi ini juga bertujuan memperkuat kerja sama ekonomi, sosial, budaya, dan politik antarnegara anggotanya. Sebagai organisasi yang terdiri dari negara-negara dengan latar belakang politik dan budaya yang sangat berbeda, ASEAN harus membangun kerangka kerja yang mampu menjaga kerukunan antaranggota dan mengurangi potensi konflik.

Prinsip utama yang menjadi landasan hingga saat ini adalah non-interference atau tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota. Prinsip ini secara resmi tertuang dalam ASEAN Declaration dan kemudian diperkuat dalam ASEAN Charter tahun 2008. Menurut buku The ASEAN Way (Corbacho & Peiris, 2018), prinsip non-interference merupakan pilar utama dari filosofi ASEAN.

Tucek menyatakan bahwa: “The principle of non-interference has been the cornerstone of ASEAN’s diplomatic culture, fostering a sense of mutual respect among member states and helping to prevent external conflicts from spilling over into the region."

Prinsip ini menegaskan bahwa setiap negara anggota seharusnya tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk dalam bidang politik, keamanan, dan hak asasi manusia. Tucek juga menambahkan bahwa prinsip ini sangat penting dalam menjaga suasana yang harmonis dan stabil di kawasan yang sangat heterogen dan kompleks secara politik serta budaya.

Keberadaan prinsip non-interference ini memang sangat vital. Tidak hanya menciptakan kepercayaan antaranggota, tetapi juga membantu mengurangi risiko konflik terbuka dan perang antarnegara anggota. Dalam suasana yang penuh tantangan geopolitik, prinsip ini menjadi benteng yang menjaga stabilitas kawasan dari gejolak eksternal maupun internal. Namun, di balik keberhasilannya, prinsip ini juga mendapat kritik. Salah satu kritik utama adalah bahwa prinsip non-interference cenderung membatasi kemampuan ASEAN untuk menanggapi secara tegas kondisi tertentu, seperti pelanggaran hak asasi manusia, konflik internal, atau isu keamanan yang mendesak. Kritikus berpendapat bahwa hal ini dapat menghambat proses penyelesaian masalah penting yang membutuhkan intervensi atau tindakan internasional.

Meski demikian, Tucek menegaskan bahwa: “Prinsip non-interference tetap menjadi kekuatan utama ASEAN, karena memberi ruang bagi negara-negara anggota untuk menjalankan kebijakan domestik mereka tanpa tekanan eksternal.”

Dengan kata lain, prinsip ini menciptakan batas yang jelas antara urusan dalam negeri dan urusan internasional, serta memberikan kepercayaan bahwa kawasan tidak akan mudah pecah karena dinamika eksternal. Dalam perkembangan selanjutnya, prinsip ini tidak pernah sepenuhnya kaku. ASEAN selalu berusaha menyeimbangkan antara menjaga stabilitas dan memberikan respons terhadap tantangan yang muncul. Pada akhirnya, prinsip non-interference adalah fondasi yang telah membantu ASEAN bertahan di tengah perubahan zaman dan berbagai tekanan dari luar.

Dinamika Global dan Tantangan Regional

Kini, dunia berada dalam kompetisi kekuasaan yang intens, yang disebut juga Great Power Rivalry. Amerika Serikat dan Tiongkok adalah aktor utama yang berkompetisi untuk memegang pengaruh di Asia Tenggara. Tiongkok, misalnya, memperluas pengaruhnya melalui berbagai inisiatif seperti Belt and Road Initiative, pembangunan militer di Laut Tiongkok Selatan, dan peningkatan pengaruh ekonomi serta diplomasi.

Sementara itu, Amerika Serikat melalui berbagai bentuk kerja sama militer dan diplomatik berusaha membendung ekspansi Tiongkok. Di saat yang sama, Rusia dan negara-negara Eropa juga turut memperkuat posisi mereka di kawasan ini. Dalam kondisi ini, ASEAN yang selama ini berpegang pada prinsip non-interference dan musyawarah, harus menghadapi dilema besar: apakah prinsip ini cukup kuat untuk menjaga stabilitas di tengah-tengah kompetisi kekuatan besar yang semakin intensif?

Mekanisme dan Kebijakan ASEAN di Era Baru

Di balik prinsip dasar yang selama ini dijaga, ASEAN juga mengadopsi berbagai mekanisme untuk memperkuat kerja sama, seperti ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan berbagai forum keamanan serta ekonomi lainnya. Mekanisme ini, menurut buku ASEAN’s Diplomatic and Security Culture (Haacke, 2013), bertujuan untuk menjaga kedamaian sambil tetap menghormati kedaulatan negara anggota.

Namun, masalah utama muncul saat krisis besar terjadi, seperti sengketa di Laut Tiongkok Selatan atau konflik internal negara anggota. Prinsip non-interference yang dulu menjadi kekuatan kini membuat ASEAN sering dianggap lambat dan kurang tegas dalam mengatasi masalah besar.

Apakah Framework ASEAN Masih Relevan?

Berdasarkan pengamatan dan analisis, framework ASEAN memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Di antara kelebihannya, ASEAN mampu menjaga stabilitas kawasan yang relatif aman melalui prinsip non-interference. Mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah dan mufakat juga memastikan keharmonisan antar negara anggota. Selain itu, ASEAN menunjukkan keluwesan dalam menjalin hubungan internasional, dengan kemampuan menyeimbangkan kepentingan kekuatan besar tanpa harus berpihak secara langsung.

Namun demikian, framework ini juga memiliki sejumlah kelemahan. ASEAN sering kali dinilai kurang cepat dan tegas dalam merespons krisis yang muncul. Selain itu, keragaman dan kelemahan internal membuat ASEAN rentan terhadap tekanan dari kekuatan besar. Tak hanya itu, organisasi ini juga belum cukup responsif terhadap isu-isu kontemporer seperti keamanan siber, perubahan iklim, dan pandemi.

Tantangan Masa Depan: ASEAN di Tengah Kompetisi Global

Menjawab pertanyaan apakah framework ASEAN masih relevan di masa depan, para pakar berpendapat bahwa adaptasi dan inovasi menjadi kunci utama. Salah satu langkah yang disarankan adalah merevisi prinsip non-interferensi dengan membangun mekanisme yang memungkinkan intervensi terbatas dalam kasus pelanggaran serius, tanpa melemahkan prinsip dasar ASEAN. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan responsiveness mechanism yang lebih fleksibel. Selain itu, penguatan kerja sama keamanan kolektif juga dinilai penting.

ASEAN perlu melengkapi kerja sama ekonomi dan politik dengan kolaborasi militer terbatas serta membentuk institusi yang lebih tegas untuk menangani potensi konflik di kawasan. Tak kalah penting, ASEAN perlu meningkatkan perannya melalui pendekatan tidak resmi dan inovatif, seperti dialog dan kerja sama di bidang non-konvensional—termasuk keamanan siber, lingkungan hidup, dan kesehatan global—agar tetap relevan dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Saatnya ASEAN Bertransformasi

ASEAN kini berada di garis depan turbulensi geopolitik global yang semakin panas. Kompetisi kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok semakin tajam, dan kawasan Asia Tenggara menjadi medan strategis utama. Prinsip non-interference, yang selama ini menjadi fondasi utama ASEAN, mulai dipertanyakan relevansinya. Prinsip ini ngasih ruang bagi negara-negara anggota untuk menjalankan urusan dalam negeri mereka tanpa campur tangan eksternal, dan itulah yang menjaga stabilitas kawasan selama ini. 

Tapi, dalam dunia yang cepat berubah dan penuh ketegangan, prinsip ini dianggap mulai ketinggalan zaman. Kalau ASEAN cuma bergantung pada warisan lama tanpa bertransformasi, kawasan yang dulu dikenal sebagai zona damai dan harmonis ini bisa terjebak dalam konflik yang lebih besar. Ketegangan di Laut China Selatan, ancaman keamanan cyber, ketidakpastian ekonomi, dan tekanan dari kekuatan besar memaksa ASEAN untuk belajar beradaptasi dan merespons secara lebih fleksibel dan strategis. 

ASEAN harus mampu mengadopsi strategi baru yang tidak cuma mengedepankan dialog dan musyawarah, tapi juga punya mekanisme yang bisa diaktifkan saat krisis datang. Membangun kebijakan yang lebih responsif dan integratif adalah keharusan agar kawasan tidak semakin terperangkap dalam ketidakpastian dan konflik berkepanjangan.

Dengan kata lain, ASEAN harus bertransformasi dari sebuah organisasi yang pasif dan konservatif menjadi lebih aktif, dinamis, dan mampu bertindak cepat dalam menghadapi tantangan zaman. Jika tidak, kawasan Asia Tenggara berisiko kehilangan posisi strategisnya, dan ketenangan yang selama ini terjaga berpotensi pecah, membawa kawasan ke arah ketidakpastian yang lebih dalam. Transformasi ini menjadi kunci agar ASEAN tetap relevan dan mampu menjaga kedamaian sekaligus menghadang gelombang kekuasaan yang makin mengancam.

 

Penulis: Dinda Deanty Dwiavini Lubis, Mahasiswi S2 Hubungan Internasional Universitas Paramadina 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI