Pemilu Tidak Serentak, Henry Indraguna: MK Perkenalkan Pola Pemilu Bertahap
SinPo.id - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar Henry Indraguna, mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023 telah mengubah tafsir ketentuan pemilu serentak. Hal ini telah diatur dalam Pasal 167 dan Pasal 347 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Amar putusan MK menyatakan pemilu serentak dilaksanakan setelah pelantikan Presiden/Wakil Presiden, dengan jeda waktu dua hingga enam bulan.
"Putusan MK memperkenalkan pola pemilu bertahap, pemilihan legislatif dilaksanakan setelah pelantikan Presiden. Ini bertentangan dengan frasa dilaksanakan setiap lima tahun dan untuk memilih secara bersamaan," ujar Henry dalam keterangannya, Minggu, 29 Juni 2025.
Menurut Ketua DPP Ormas MKGR, sesuai Pasal 22E UUD 1945 ayat (1) menyatakan pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasal 22E ayat (2) menyatakan pemilu untuk memilih DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD.
"Apakah Putusan MK menyimpangi Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945," katanya.
"Wewenang MK (Ultra Vires) sesuai Pasal 24C UUD 1945 membatasi kewenangan MK untuk menguji UU terhadap UUD, bukan membuat norma baru," sambungnya
Henry merekomendasikan revisi terbatas UUD 1945 guna mempertegas kembali definisi pemilu serentak dan batasan kewenangan MK.
"Putusan MK harus tetap berada dalam koridor konstitusional dan tidak boleh bertindak sebagai pembentuk undang-undang terselubung. Ketika MK melampaui batas kewenangannya, maka prinsip checks and balances harus diaktifkan melalui pengawasan etik dan politik oleh lembaga lain yang sah," paparnya.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, tetapi jika terdapat indikasi pelanggaran etika atau konflik kepentingan, masyarakat atau lembaga dapat mengajukan laporan ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) untuk pelanggaran etik. DPR RI juga dapat memulai hak angket atau interpelasi sebagai pengawasan konstitusional terhadap lembaga negara.
