Etika yang Tergerus di Balik Derasnya Arus Big Data

Dalam dunia riset ilmiah, persetujuan berdasarkan informasi atau informed consent selalu dianggap sebagai pilar moral yang tidak bisa ditawar. Ia memastikan bahwa partisipan manusia mengetahui, memahami, dan secara sukarela menyetujui keterlibatan mereka dalam penelitian.
Saat ini, di era big data yang serba cepat, prinsip ini kerap kali disingkirkan ke pinggiran. Berbagai data dari media sosial, aplikasi, hingga rekam medis digital kini dimanfaatkan untuk riset, kadang tanpa sepengetahuan si pemilik data atau menghiraukan persetujuan informasi.
Seperti dikutip dari buku The Big Data Agenda. Data Ethics and Critical Data Studies, Annika Richterich. University of Westminster Press 2018, pada sub informed consent, dikemukakan bahwa jejak etika dari kode Nuremberg ke era digital konsep persetujuan berdasarkan informasi mulai mendapat perhatian serius sejak Kode Nuremberg (1947). Pasca terbongkarnya eksperimen kejam yang dilakukan oleh dokter Nazi di kamp konsentrasi. Prinsip tersebut kemudian menjadi standar etika global dalam riset biomedis dan sosial.
Namun kini, sumber data tidak lagi berasal dari interaksi langsung antara peneliti dan responden, melainkan dari jejak digital yang kita tinggalkan setiap hari. Inilah yang menimbulkan dilema baru. Apakah kita masih memerlukan persetujuan eksplisit dari setiap individu, jika data mereka sudah tersedia dan dianonimkan.
Informed consent pada beberapa kasus, menunjukkan betapa norma etik bisa dipelintir ketika data dan algoritma menjadi alat utama penelitian. Seperti pada masa pandemi COVID-19, aplikasi PeduliLindungi menjadi alat utama pelacakan dan verifikasi vaksinasi. Aplikasi ini mengumpulkan data lokasi, riwayat perjalanan, hingga status kesehatan jutaan masyarakat.
Namun, saat transisi ke aplikasi Satu Sehat, muncul pertanyaan besar yaitu sejauh mana pengguna mengetahui bahwa data mereka akan digunakan lebih luas, bahkan untuk penelitian atau komersialisasi? Tidak ada transparansi penuh, dan tentu tidak ada proses persetujuan ulang dari para pengguna.
Dalam banyak kasus, penerima bantuan tidak tahu bahwa data mereka dipakai untuk memprofilkan kelayakan, atau bahkan diakses oleh berbagai Kementerian dan pihak ketiga. Kebijakan semacam ini cenderung mengandalkan logika efisiensi dan pengawasan, alih-alih partisipasi dan transparansi.
Ketika etika mengikuti korporasi, tren yang sama terlihat. Praktik korporasi atau negara menjadi tolok ukur baru etika. Padahal, etika penelitian seharusnya dikendalikan oleh nilai-nilai moral dan bukan dibentuk oleh algoritma atau kepentingan ekonomi.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi. Rothstein dan Shoben, dalam studi mereka, menyatakan bahwa melemahnya informed consent justru berisiko merusak kepercayaan publik terhadap dunia riset. Ketika partisipasi dipaksakan, atau bahkan disamarkan, maka legitimasi moral penelitian itu runtuh.
Etika pun tidak boleh usang, dalam argumen-argumen pro big data, informed consent kerap digambarkan sebagai beban administratif, tidak praktis, bahkan menghambat inovasi. Tapi argumen itu mengabaikan satu hal penting terhadap kepercayaan publik adalah bahan bakar dari setiap riset yang etis dan berkelanjutan.
Jika masyarakat tidak merasa dilibatkan atau diperlakukan dengan hormat, maka ketidakpercayaan akan tumbuh dan itu jauh lebih menghambat daripada prosedur persetujuan.
Etika dalam persetujuan informasi tak boleh menjadi korban dari kemajuan teknologi. Etika harus menjadi pagar yang menjaga arah kemajuan tetap pada jalur kemanusiaan.
Muhamad Hapipi * Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta