Ekonom: Konflik Iran-Israel Picu Lonjakan Harga Minyak dan Ancaman Resesi Global

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 23 Juni 2025 | 12:34 WIB
Ilustrasi Selat Hormuz tempat lalu lintas di Teluk Persia. (SinPo.id/dok. Wikipedia)
Ilustrasi Selat Hormuz tempat lalu lintas di Teluk Persia. (SinPo.id/dok. Wikipedia)

SinPo.id - Ekonom dari UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, dampak perang antara Israel dan Iran kini melibatkan langsung Amerika Serikat (AS), tidak hanya mengakibatkan korban jiwa dan reruntuhan, tapi  menciptakan ketidakstabilan global, termasuk melonjaknya harga minyak dunia.

"Dampak paling langsung adalah melonjaknya harga minyak dunia. Iran adalah produsen minyak terbesar keempat OPEC dan penjaga jalur kritis: Selat Hormuz. Sekitar 20 persen suplai minyak global melewati selat ini," kata Achmad dalam keterangannya, Senin, 23 Juni 2025.

Achmad menyampaikan, ledakan satu rudal yang nyasar saja, cukup untuk memicu disrupsi global dengan menelan kerugian triliunan dolar. Dimana, sejak kabar serangan udara dikonfirmasi, pasar berjangka minyak mentah melonjak tajam.

Dalam waktu singkat, harga minyak menyentuh USD 80 per barel dari sebelumnya menyentuh USD78/barel. Diprediksi dalam 1 minggu ke depan bila ketegangan berlanjut bisa mencapai USD110/barel

"Bahkan, jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz, harga bisa menembus $150–170 per barel," ucapnya.

Selain itu, efek domino dari perang ini sangat luas, seperti inflasi global, biaya logistik yang membengkak, tekanan fiskal bagi negara berkembang, dan ancaman resesi. Negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia juga akan sangat terpukul.

Menurut dia, pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit, menaikkan harga BBM atau menambah subsidi yang akan memperlebar defisit anggaran. Keduanya berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.

"Ini adalah pukulan telak bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi dan krisis pangan global," ungkapnya.

Untuk itu, lanjut dia, konsekuensi serangan ini tidak bisa dianggap enteng oleh pemerintah Indonesia. Negara akan terkena imbas, antara lain fiskal, moneter, dan sosial.

Dimana, lonjakan harga energi akan membuat APBN tertekan. Subsidi BBM, listrik, dan LPG akan meningkat tajam. Jika tidak diimbangi dengan penerimaan baru, sambungnya, defisit akan melebar.

Kemudian, inflasi akibat kenaikan harga impor energi dan pangan bakal menggerus nilai tukar rupiah. Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan dipaksa menaikkan suku bunga, memperlambat pertumbuhan dan memperberat dunia usaha.

Berikutnya, tekanan sosial dari kenaikan harga kebutuhan pokok akan memicu keresahan publik. Dampaknya, masyarakat kelas menengah ke bawah akan kembali menjadi korban dari konflik yang sama sekali bukan urusan mereka.

Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh pasif. Pemerintah harus segera merumuskan respons diplomatik dan kebijakan ekonomi yang antisipatif.

"Ketergantungan pada minyak impor harus dikurangi, dan sumber energi alternatif harus digenjot. Tapi yang terpenting, Indonesia harus bersuara di forum internasional untuk menghentikan eskalasi konflik ini," tukasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI