Menakar Geliat Ekonomi Jepang dan Indonesia
Perekonomian Jepang merupakan salah satu studi kasus menarik dalam sejarah ekonomi modern, terutama karena keberhasilannya bangkit dari kehancuran total pasca-Perang Dunia II menuju negara industri maju dalam waktu relatif singkat. Strategi ekonomi yang terencana dan sistem pendidikan yang disiplin, menjadikan Jepang tidak hanya berhasil memproduksi barang-barang industri berkualitas tinggi, tetapi juga menciptakan ekosistem inovasi yang konsisten menghasilkan teknologi mutakhir.
Satu elemen yang tak bisa diabaikan di Jepang adalah peran aktif negara dalam membentuk arah dan struktur ekonomi nasional. Tidak seperti negara-negara Barat yang cenderung memisahkan peran negara dari urusan bisnis, Jepang justru menunjukkan bagaimana negara bisa menjadi aktor utama dalam proses industrialisasi dan transformasi ekonomi. Negara Jepang memiliki kemampuan untuk berpikir strategis secara kolektif dan melakukan perubahan arah pembangunan secara terencana dan komprehensif.
Model Industrialisasi Jepang
Dua periode penting dalam sejarah ekonomi Jepang adalah era awal Restorasi Meiji (1868–1890) dan masa pasca-Perang Dunia II (1956–1986). Pada masa Meiji, pemerintah mereformasi besar-besaran dari atas ke bawah, mendorong industrialisasi, membentuk ekonomi kapitalis-modern, dan meletakkan dasar-dasar institusional yang kuat. Hal ini menandai dimulainya peran negara sebagai pengarah utama modernisasi sosial-ekonomi Jepang.
Beberapa hasil penelitian, seperti Peilei Fan dan Chihiro Watanabe (2006), mengungkap peran tersebut semakin dominan pasca-Perang Dunia II, ketika Jepang menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali negaranya dari kehancuran perang. Pemerintah tidak hanya menetapkan prioritas pembangunan industri, tetapi juga memberikan arahan dan dukungan langsung untuk mengembangkan kapabilitas teknologi domestik. Setiap dekade, pemerintah Jepang secara cermat mengidentifikasi sektor-sektor kunci dan mengarahkan sumber daya untuk memperkuat teknologi di sektor tersebut.
Mikio Sumiya dalam A History of Japanese Trade and Industry menilai bahwa Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri (MITI) Jepang, sekarang berganti nama Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI), sebagai pihak yang menjadi motor penggerak utama dalam strategi ini (Sumiya, 2000). MITI, menurutnya, memberikan panduan administratif, baik formal maupun informal, kepada industri-industri terkait modernisasi, investasi, dan persaingan. Pada 1960-an, Jepang mengarahkan fokusnya ke sektor industri berat seperti baja, otomotif, dan mesin. MITI bahkan merancang proyek-proyek litbang besar yang mendapat dukungan dana miliaran yen.
Untuk mendukung pengembangan teknologi, Jepang mengubah berbagai undang-undang hak kekayaan industri pada 1960, termasuk hukum paten dan merek dagang. Tak hanya itu, untuk mengatasi krisis energi akibat lonjakan harga minyak pada 1970-an, MITI meluncurkan Sunshine Project, sebuah inisiatif riset besar untuk mengembangkan teknologi energi terbarukan seperti energi surya dan geotermal.
Namun, setelah masa pertumbuhan tinggi berlalu dan Jepang memasuki era pertumbuhan stabil (1973–1985), ekonomi mulai melambat. Pemerintah berhasil mendorong efisiensi energi melalui teknologi, namun gagal melakukan reformasi struktural menyeluruh untuk menopang pertumbuhan jangka panjang. Kegagalan ini membuka jalan menuju periode gelembung ekonomi dan pasca-gelembung (1985–1999), yang ditandai dengan apresiasi besar terhadap yen dan pengalihan investasi manufaktur ke luar negeri.
Meskipun teknologi manufaktur Jepang terus berkembang, sektor non-manufaktur tetap terbelakang karena regulasi ketat dan proteksionisme yang menghambat restrukturisasi. Di sinilah terlihat bahwa kemajuan teknologi tidak selalu sejalan dengan produktivitas nasional secara keseluruhan jika tidak diimbangi dengan reformasi kelembagaan. Salah satu keberhasilan signifikan Jepang adalah pembentukan konsorsium riset dan pengembangan (research and development/R&D) yang mempertemukan perusahaan, lembaga riset, dan universitas. Konsorsium ini tidak hanya menghasilkan inovasi, tetapi juga menjadi ruang pembelajaran dan pertukaran pengetahuan lintas institusi yang sangat penting, terutama dalam konteks budaya kerja Jepang yang kaku (Fan & Watanabe, 2006).
Dari pengalaman Jepang, kita belajar bahwa keberhasilan ekonomi sangat ditentukan oleh bagaimana institusi-institusi dirancang dan dioperasikan. Ketika pengaturan kelembagaan mendukung inovasi, maka pertumbuhan teknologi dapat melesat. Namun sebaliknya, ketika struktur kelembagaan menghambat fleksibilitas dan pembaruan, maka inovasi pun terhambat meskipun sumber daya telah tersedia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan bonus demografi dan kekayaan sumber daya alam melimpah, mulai menunjukkan kecenderungan untuk meniru langkah-langkah Jepang (Widiyanti, 2018), khususnya dalam hal modernisasi industri dan transformasi digital. Program hilirisasi industri yang dicanangkan pemerintah Indonesia dapat dipandang salah satu langkah untuk tidak lagi bergantung pada ekspor bahan mentah semata, tetapi meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dalam negeri.
Di berbagai penjuru negeri, upaya Indonesia membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)—seperti di Batam, Morowali, dan sejumlah daerah lainnya—memperlihatkan tekad untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru yang bertumpu pada industri, teknologi, dan investasi asing. Meskipun jalan yang ditempuh tak selalu mulus—masih ada persoalan birokrasi yang rumit, keterbatasan kualitas tenaga kerja, hingga infrastruktur yang belum merata—arah kebijakan ini setidaknya dapat dilihat sebagai semangat yang serupa dengan jalur industrialisasi yang pernah ditempuh Jepang di masa kebangkitannya.
Selain sektor teknologi dan industri berat, pariwisata menjadi sektor penting lainnya dalam dinamika ekonomi Jepang dan Indonesia. Jepang telah lama dikenal sebagai destinasi wisata budaya kelas dunia, dengan kekuatan simbolik seperti Gunung Fuji, kuil-kuil Shinto dan Buddha di Kyoto, serta estetika kota-kota seperti Tokyo dan Osaka yang menggabungkan modernitas dan tradisi. Pemerintah Jepang secara konsisten mempromosikan nilai-nilai kultural lokal sebagai bagian dari daya tarik pariwisata, dan mendesain pengalaman wisata yang tidak hanya menarik tetapi juga edukatif. Strategi ini terbukti berhasil dengan lonjakan jumlah wisatawan mancanegara dalam dua dekade terakhir sebelum pandemi (Kamata, 2022).
Indonesia, dengan potensi keindahan alam dan keragaman budaya yang luar biasa, mulai mengikuti pola promosi pariwisata yang menonjolkan kekhasan lokal dan pengalaman autentik. Program “10 Bali Baru” adalah salah satu strategi pemerintah untuk mengembangkan destinasi pariwisata di luar Bali, dengan menekankan pada pelestarian budaya, penguatan ekonomi lokal, dan pembangunan infrastruktur yang mendukung sektor ini. Seperti halnya Jepang, Indonesia tampaknya menyadari bahwa kekuatan pariwisata tidak hanya terletak pada jumlah kunjungan, tetapi pada bagaimana wisata dapat dimanfaatkan untuk memperkuat identitas nasional dan memperluas distribusi manfaat ekonomi.
Kemiripan lain yang patut dicermati antara Jepang dan Indonesia adalah pada titik temu antara modernisasi dan pelestarian tradisi. Jepang, seperti diungkap Hashino dan Saito (2004) berhasil mempertahankan nilai-nilai lokal seperti etos kerja, kolektivisme, dan kesopanan dalam sistem ekonomi. Di sisi lain, Indonesia pun menghadapi tantangan yang sama dalam menjaga harmoni antara globalisasi dan nilai-nilai lokal.
Munculnya tren ekonomi berbasis komunitas, industri kreatif lokal, dan digitalisasi UMKM adalah bentuk respons terhadap tantangan modernitas, sekaligus bentuk adaptasi lokal terhadap arus perubahan global. Dengan kata lain, baik Jepang maupun Indonesia menunjukkan pola yang sama: modernisasi tidak harus berarti homogenisasi budaya.
Yang patut diapresiasi adalah tumbuh-kembangnya UMKM di negara ini telah menjelma menjadi tulang punggung ekonomi yang tak tergantikan. Misalnya, laporan Kadin Indonesia menyebut bahwa hingga tahun 2023 jumlah UMKM berhasil menembus angka 66 juta unit usaha. Mereka menyumbang sekitar 61% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional—setara dengan Rp9.580 triliun, menurut data Kadin Indonesia. Lebih dari sekadar angka, UMKM juga menjadi penyerap tenaga kerja utama, dengan melibatkan sekitar 117 juta orang atau 97% dari total angkatan kerja di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan bahwa denyut ekonomi rakyat sesungguhnya berdetak dari geliat UMKM di berbagai penjuru negeri.
Pada konteks ekonomi di Indonesia dan Jepang, tentu saja terdapat perbedaan struktural dan historis yang cukup besar antara kedua negara. Jepang adalah negara dengan sumber daya alam yang terbatas, sehingga sangat mengandalkan inovasi dan efisiensi untuk menopang ekonominya. Sebaliknya, Indonesia masih memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar, tetapi belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal karena kendala tata kelola dan korupsi. Dalam konteks ini, Indonesia masih dalam proses membangun sistem ekonomi yang berbasis pada keunggulan kompetitif dan bukan hanya keunggulan komparatif. Hal inilah yang membuat pembelajaran dari model Jepang menjadi sangat relevan: bagaimana mengubah keterbatasan menjadi kekuatan melalui inovasi dan efisiensi.
Kemajuan teknologi Jepang juga tidak terlepas dari penguatan sektor pendidikan dan penelitian, yang menjadi fondasi penting dalam menciptakan SDM unggul dan produktif. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari hal ini, misalnya dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan mendorong kerjasama antara universitas, industri, dan pemerintah dalam skema triple helix.
Dalam refleksi akhir, Jepang dan Indonesia memang berbeda dalam sejarah, kapasitas industri, dan tingkat kemajuan. Namun semangat membangun ekonomi yang berakar pada nilai-nilai lokal, didukung oleh inovasi dan keterbukaan terhadap globalisasi, menjadi titik temu yang penting. Indonesia dapat belajar banyak dari Jepang, bukan hanya dalam aspek teknologi dan pariwisata, tetapi juga dalam membangun identitas ekonomi yang khas, berdaya saing, dan tahan terhadap krisis. Jika dikembangkan dengan serius, kemiripan orientasi ini dapat menjadi jembatan strategis dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya. (*)
* Bagus Ardeni, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

