CERI Angkat Bicara Soal Proses Restrukturisasi Pertamina

SinPo.id - Sekretaris Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Hengki Seprihadi angkat bicara soal rencana restrukturisasi sebagian bisnis Pertamina, khususnya di sektor downstream, yang belum berumur lima tahun bertransformasi menjadi holding dan sub holding.
Menurutnya, kebijakan restrukturisasi holding-subholding yang dijalankan sejak 2020 terbukti tidak menjawab tantangan efisiensi dan tata kelola yang lebih baik.
Hal tersebut sebelumnya telah menjadi kekhawatiran dan penolakan resmi dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).
“Berdasarkan kajian dan masukan tiga konsultan, yakni PwC, Ernst & Young dan McKinsey kepada pemerintah selaku pemegang saham mayoritas di Pertamina, bahwa akan terjadi efisiensi, lebih lincah untuk mentas di level global, bahkan bisa meraup dana dari proses IPO, peningkatan valuasi perusahaan secara keseluruhan, terbukti menimbulkan masalah serius dan merugikan Pertamina,” ungkap Hengki dikutip pada Selasa, 3 Juni 2025.
Malah, menurutnya, dalam periode yang sama, publik juga dikejutkan oleh sejumlah kasus hukum dan penyelidikan terkait tata kelola bisnis energi yang menyeret jajaran direksi di beberapa subholding Pertamina.
"Meskipun belum seluruhnya terbukti secara hukum, hal ini menambah kekhawatiran atas lemahnya sistem pengawasan pasca restrukturisasi," kata Hengki.
Adapun kasus yang kini mencuat yakni adanya dugaan korupsi terjadi di PT Pertamina Patra Niaga (PPN), PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), PT Pertamina International Shipping (PIS) dan PT Pertamia Hulu Energi (PHE), yang menurut hasil penyidikan Kejaksaan Agung untuk periode 2018 hingga 2023 negara mengalami kerugian setidak-tidaknya sebesar Rp193,7 Triliun.
Hengki membeberkan penetapan Perubahan Struktur Organisasi Pertamina menjadi holding dan sub holding ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-198/MBU/06/2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota Anggota Direksi Perusahaan Perseroan PT Pertamina tertanggal 12 Juni 2020, yang ditandatangani Menteri BUMN Erick Thohir. Setelah itu, diikuti dengan Surat Keputusan Dirut Pertamina Nicke Widyawati No.Kpts-18/C00000/2020-S0 tertanggal 12 Juni 2020.
“Sejak awal, keputusan transformasi Pertamina menjadi Holding dan Sub holding itu sudah gencar ditolak oleh FSPPB melalui rilis media, focus group discussion, dialog zoom meeting, hingga melakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, gugatan perdata perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” beber Hengki.
Hengki mengutarakan, FSPPB yang telah menegaskan bukan anti perubahan, tetapi mengutamakan kehati-hatian dalam keputusan strategis BUMN energi.
Sejak awal telah menyampaikan tujuh poin kekhawatiran terhadap kebijakan holdingisasi yang berpotensi melemahkan kedaulatan energi, membuka peluang privatisasi terselubung, menciptakan inefisiensi struktural dan menimbulkan celah transfer pricing antarsubholding.
"Kini, sebagian besar kekhawatiran tersebut terbukti nyata, dan harus dijadikan pelajaran penting bagi pengambil kebijakan," kata Hengki.
“Saat ini, empat kekhawatiran itu sudah terjadi. Di antaranya dari ancaman kedaulatan energi yang terbukti dengan masuknya saham pihak asing, seperti Nippon Yusen Kabushiki Kaisha (NYK) di anak usaha Pertamina International Shipping pada tahun 2022,” tukas Hengki.