Jubir: Pernyataan Menperin soal Manufaktur Bukan Retorika Keluh Kesah
SinPo.id - Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief menganggap, pernyataan Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, tentang sulitnya membangun manufaktur Indonesia dan mudah menghancurkan, diputarbalikkan oleh sebuah media. Dalam editorialnya, media tersebut menulis bahwa pernyataan Menperin itu merupakan sebuah retorika keluh kesah tanpa solusi atau bahkan merupakan sebuah kegagalan.
"Kami memandang perlu merespons tulisan yang berusaha membelokkan makna pernyataan Menperin tersebut. Tulisan telah dapat diakses oleh publik luas. Kami mengajak publik mencermatinya secara obyektif dan komprehensif. Upaya ini sejalan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas publik yang senantiasa didorong Menperin dan jajarannya ketika merespons kritikan publik terhadap kebijakan dan program industri," ujar Febri dalam keterangannya, Minggu, 18 Mei 2025.
Febri menerangkan, di sebuah media online pada hari Rabu, 14 Mei, mengungkap editorialnya yang berjudul "Menperin Retorika Keluh-Kesah Bukti Kinerja Tanpa Solusi Holistik" yang dimulai dengan pertanyaan pembuka “Sulit Bangun Manufaktur, Retorika atau Kegagalan?"
Editorial mendasarkan argumentasinya pada LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK RI atas Kemenperin. Beberapa poin temuan dalam LHP BPK terkait Kemenperin diungkap dalam tulisan tersebut antara lain masalah struktural berupa lemahnya koordinasi antara Kemenperin dengan Kementerian/Lembaga lain seperti Kemendag terkait proteksi industri tekstil dalam negeri dan data supply-demand pada Kemendag terkait dengan impor bahan baku obat tetap bergantung pada Tiongkok.
Tulisan ini juga menyinggung mengenai lemahnya pengawasan implementasi TKDN pada proyek pemerintah seperti proyek tol Jawa di Kementerian PUPR yang tidak memprioritaskan menggunakan bahan baku lokal.
Mengacu LHP BPK, editorial ini juga menulis bahwa ketidakjelasan hilirisasi nikel sehingga saham smelter nikel 95 persen dikuasai asing dan minim alih teknologi ke SDM lokal.
Editorial ini juga mengkritik BPK RI yang tidak pernah melakukan audit khusus pada Kemenperin dalam 10 tahun terakhir terkait dengan kebocoran anggaran, pungli TKDN, atau kegagalan dalam program hilirisasi.
Terakhir, inti argumentasi editorial ini adalah Menperin tidak menjalankan rekomendasi temuan pemeriksaan BPK RI. Sehingga hal tersebut dinilai sebagai bentuk kegagalan Menperin menjalankan kebijakan industrialisasi dan pernyataannya hanyalah pernyataan retorika keluh kesah tanpa solusi.
Hal ini juga diperkuat dengan kesimpulan dan pesan tulisan yang menyatakan bahwa penyebab manufaktur sulit bangkit karena banyak tumpukan LHP BPK RI di meja Menperin (yang tidak ditindaklanjuti).
Terkait itu, Febri menegaskan, editorial ini dengan sengaja memotong pernyataan lengkap Menperin yang disampaikan pada doorstop dengan wartawan setelah acara Mata Lokal hari Kamis, 8 Mei 2025 di Hotel Shangrilla, Jakarta.
Saat itu, Menperin menyampaikan membangun manufaktur sangat sulit dan tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu bertahun-tahun membangunnya. Sebaliknya, menghancurkannya sangat mudah dan bisa dilakukan dalam waktu singkat. Cukup dibuka saja kran produk impor murah masuk ke pasar domestik maka industri akan tertekan, menurunkan utilisasi produksi dan bahkan bisa menutup pabriknya.
"Konteks pernyataan Menperin ini adalah mencermati upaya Presiden Trump untuk mengembalikan manufaktur kembali berproduksi di negaranya. Upaya tersebut dengan dilakukan dengan menaikkan tarif BMI (Bea Masuk Impor) pada seluruh negara yang didasarkan pada defisit pada neraca dagang Amerika dengan negara-negara lain di dunia," ucapnya.
"Upaya Presiden Trump membangun kembali manufaktur dilakukan melalui pemberlakuan kebijakan tarif resiprokal setelah ekonomi Amerika Serikat telah lama meninggalkan sektor manufaktur dan menjadi negara yang mengandalkan sektor jasa dan perdagangan," sambungnya.
Di sisi lain, lanjutnya, Menperin menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam membangun manufaktur sejak tahun 2019. Berbagai gejolak ekonomi global, tekanan demand pasar domestik, investasi serta dampaknya bagi manufaktur dalam negeri dan telah membawa Menperin pada pernyataan retoris yang sarat makna dan pro industri tersebut.
"Jadi, Pak Menperin tidak dalam posisi beretorika keluh kesah dalam ruang publik. Ataupun Pak Menperin juga tidak mengungkap kegagalan dalam membangun industrialiasi Indonesia sejak tahun 2019," tegasnya.
Febri menegaskan, pernyataan Menperin itu mengajak belajar dari AS bahwa ketika manufaktur sudah masuk tahap deindustrialiasi dan telah ditinggalkan menjadi negara jasa, maka akan sulit balik kembali menjadi negara yang perekonomiannya mengandalkan manufaktur. Manufaktur Indonesia beberapa tahun lalu, saat ini, dan ke depan harus selalu menjadi andalan perekonomian Indonesia terutama untuk dalam membentuk job creation dan penciptaan nilai tambah.
Kemenperin juga telah menindaklanjuti berbagai temuan pemeriksaan BPK RI setiap tahunnya dan tindaklanjut temuan tersebut telah mendapatkan penilaian dari BPK RI.
Hingga saat ini, Kemenperin telah menindaklanjuti 85 persen temuan LHP BPK. Sisanya, 15 persen temuan tersebut masih dalam proses penyelesaian tindak lanjut. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada LHP BPK yang menumpuk di meja Menperin. Semua temuan dan rekomendasinya ditindaklanjuti dengan baik dan sungguh-sungguh.
"Jadi, kami membantah bahwa LHP BPK menumpuk di meja Menperin. Semua temuan dan rekomendasi BPK RI sudah ditindaklanjuti setiap tahunnya. Kami juga siap diperiksa oleh BPK RI dan lembaga pengawas lainnya terkait dengan kebijakan, pelaksanaan program dan anggaran Kemenperin. Tidak ada yang kami sembunyikan. Kami transparan dan patuh terhadap semua peraturan perundang-undangan terkait pengawasan yang berlaku di Indonesia dan oleh karena itu, hal tersebut merupakan bukti bahwa Pak Menperin berkomitmen mengimplementasikan good governance di Kemenperin," ujar Febri.
Terkait pernyataan retoris serta menilai apakah Menperin gagal atau tidak membangun manufaktur, menurut Febri, semestinya menggunakan indikator kebijakan industrialisasi dan kinerja manufaktur. Semua bahan tersebut tersedia pada RIPIN (Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional), KIN (Kebijakan Industri Nasional), Renstra Kemenperin, data statistik lembaga pemeringkat asing dan nasional, serta data BPS (Badan Pusat Statistik).
Data temuan LHP BPK RI merupakan salah satu data dan bahan untuk mendukung argumentasi tulisan tersebut. Namun, temuan LHP BPK bukanlah satu-satunya bahan dan data mendukung argumentasinya apalagi jika temuan LHP BPK tersebut telah ditindaklanjuti oleh Kemenperin dan dinilai selesai oleh BPK RI.
"Temuan BPK yang telah ditindaklanjuti oleh Kemenperin dan dinyatakan selesai oleh BPK RI tidak dapat dijadikan bahan dan data tulisan mengevaluasi kebijakan industri Indonesia. Oleh karena itu, penulis editorial di media online tersebut perlu mencermati bahan tulisannya tersebut terutama apakah bahan atau data tersebut sudah tidak menjadi temuan lagi karena sudah dinyatakan selesai oleh BPK RI," ujar Febri.
Lebih lanjut, Febri menyampaikan bahwa tulisan yang menggunakan indikator yang tepat dan data yang valid, dapat digunakan untuk menganalisis keberhasilan kebijakan dan program industrialisasi Indonesia. Semua bahan dan data itu sudah tersedia dengan baik dan bisa diakses oleh publik.
"Terakhir, kami membantah kesimpulan editorial media online tersebut, terutama kesimpulan yang menyatakan bahwa Menperin gagal membangun manufaktur dan juga membantah bahwa Menperin hanya menyampaikan pernyataan retorika keluh kesah tanpa solusi," tukasnya.
