KPPU: Tarif Trump Ancam Ekspor RI, Minyak Sawit hingga Tekstil Terancam Kalah Saing
SinPo.id - Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Aru Armando memperkirakan, sejumlah produk ekspor Indonesia, seperti minyak sawit, akan kalah saing dari negara lain, akibat kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Sebab, negara - negara lain, seperti Malaysia dikenakan tarif resiprokal lebih kecil yaitu 24 persen, dibandingkan Indonesia sebesar 32 persen.
"Contoh paling nyata adalah produk minyak sawit. Minyak sawit Indonesia di Amerika Serikat akan kalah bersaing. Karena harganya tentu akan lebih mahal, bahkan juga dibandingkan dengan Malaysia," kata Aru di Jakarta, Senin, 5 Mei 2025.
Aru menyampaikan, kebijakan Trump juga akan berdampak pada penurunan volume produk ekspor Indonesia lainnya, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, kopi, hingga karet.
Imbas lainnya, Indonesia bakal mengalami oversupply alias kelebihan pasokan komoditas dari domestik, akibat penurunan permintaan ekspor. Misal, ekspor minyak sawit mentah atau CPO ke AS bernilai US$1,3 miliar, akan berkurang, maka stok dalam negeri meningkat. Hal ini menyebabkan anjloknya harga jual dan berdampak pada kesejahteraan petani serta UMKM.
Selain itu, sambung Aru, industri manufaktur seperti garmen, alas kaki, atau furnitur yang banyak mengekspor ke AS, juga akan paling berdampak jika permintaan domestik tidak cukup kuat. Akibatnya, stok berlebih, biaya penyimpanan meningkat, dan bisnis pun merugi.
"Situasi ini bisa berujung pada PHK massal, pengurangan pekerja, hingga penutupan pabrik," ucapnya.
Berikutnya, China yang dikenakan tarif tinggi oleh AS, akan mencari pasar alternatif, salah satunya Indonesia. Dampaknya adalah Indonesia berpotensi mengalami kebanjiran produk dari China dengan harga yang lebih rendah, khususnya di industri elektronik, plastik, produk dari besi dan baja, pakaian, sepatu, serta kendaraan dan aksesorisnya dengan potensi nilai impor sebesar US$221,6 miliar.
Dampak selanjutnya, terjadi peningkatan konsolidasi usaha global melalui praktik merger dan akuisisi. Oleh sebab itu, KPPU menekankan pengawasan di bidang merger dan akuisisi haruy ditingkatkan.
"Sehingga pengawasan harus dilakukan bersama dengan pemerintah seperti Kementerian Hukum, Kementerian Perindustrian, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia," ungkapnya.
Atas pelbagai dampak tersebut, Aru meminta pemerintah melibatkan KPPU dalam rapat koordinasi (rakor) maupun rapat kabinet yang membahas rancangan menghadapi tarif Trump. Keterlibatan KPPU penting dalan memberi saran dan masukan untuk menghadapi tekanan global yang akan mempengaruhi iklim persaingan usaha dalam negeri.
"Sudah saatnya KPPU ini dilibatkan dalam rapat-rapat koordinasi atau bahkan rapat kabinet ketika pemerintah merilis suatu kebijakan atau peraturan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, bisnis, dan perdagangan, karena dampak yang terjadi akibat kebijakan tarif Amerika Serikat secara global di Indonesia potensi dampaknya sangat luar biasa," paparnya.
Aru menekankan, selama koordinasi belum dijalankan menyeluruh, potensi benturan antar kebijakan sangat mungkin terjadi.
"Sepanjang itu tidak dilakukan, kita khawatir bahwa setiap kebijakan-kebijakan yang dilakukan tanpa koordinasi, itu sifatnya bisa potensi kontraproduktif," tukas Aru.

