Dugaan Obstruction of Justice dalam Kasus Zarof Ricar: Jampidsus dan JPU Dilaporkan
SinPo.id - Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi, bersama Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Indonesia Police Watch (IPW), dan Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat), menyampaikan pengaduan masyarakat atas dugaan unprofessional conduct dan/atau penyalahgunaan kewenangan dan/atau perintangan penyidikan (obstruction of justice) yang diduga dilakukan oleh Jampidsus Febrie Adriansyah dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) M. Nurachman Adikusumo.
Keduanya dilaporkan terkait dengan pembuatan surat dakwaan terhadap terdakwa Zarof Ricar, yang diduga sengaja memutarbalikkan proses hukum dengan hanya melekatkan pasal gratifikasi atas temuan barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Hal ini dinilai sebagai bentuk penyimpangan penegakan hukum dan modus merintangi penyidikan (obstruction of justice).
Tindakan tersebut dikualifikasikan melanggar Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER–014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 huruf d, Pasal 7 ayat (1) huruf f Peraturan Jaksa Agung RI tersebut, Pasal 2 huruf b Peraturan Kejaksaan RI Nomor 4 Tahun 2024, Poin 15 Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2021, dan/atau Pasal 421 KUHP serta/atau Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Selaku penanggung jawab di bidang penyidikan dan penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, seharusnya Jampidsus Febrie Adriansyah memerintahkan JPU M. Nurachman Adikusumo untuk melekatkan pasal suap dan/atau TPPU terhadap terdakwa Zarof Ricar. Peristiwa ini sebagai bentuk kejahatan serius yang diduga memiliki motif dan mens rea untuk 'mengamankan' pemberi suap dan melindungi hakim pemutus perkara, yang menjadi tujuan akhir pemberian uang tersebut, sebagai pemangku jabatan yang dapat membuat putusan. Sekaligus diduga untuk kepentingan menyandera pimpinan Mahkamah Agung RI, dengan maksud agar dapat dikendalikan untuk mengamankan kasus-kasus korupsi tertentu," ujar Ronald Loblobly, Koordinator Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi, di Gedung Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, 28 April 2025. Ronald datang bersama Sugeng Teguh Santoso, SH (IPW), Petrus Selestinus, SH (TPDI), dan Carrel Ticualu, SH (Pergerakan Advokat Nusantara).
Koalisi Sipil Anti Korupsi juga mencurigai ketidakjelasan fakta-fakta terkait catatan tertulis seperti "Titipan Lisa", "Untuk Ronal Tannur: 1466/Pid.2024", "Pak Kuatkan PN", dan "Perkara Sugar Group Rp200 miliar" yang ditemukan saat penyitaan dan penggeledahan, namun tidak dijelaskan dalam surat dakwaan penuntut umum.
Selain itu, tidak diuraikan hubungan barang bukti uang tunai Rp915 miliar dan 51 kilogram emas dengan perkara apa, siapa pemberi, dan siapa penerima tujuannya. Secara hukum, tidak logis jika temuan ini dikonstruksikan sebagai gratifikasi kepada Zarof Ricar. Berdasarkan Pasal 12 huruf B UU Nomor 31 Tahun 1999, gratifikasi harus dimaknai sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatan atau bertentangan dengan kewajiban.
"Apabila dalam dakwaan mencantumkan temuan uang tunai Rp915 miliar dan 51 kilogram emas, serta catatan tertulis tersebut, seharusnya pasal yang dikenakan bukanlah gratifikasi, melainkan suap dan/atau TPPU. Terlebih diksi dalam dakwaan menyebutkan 'pegawai negeri', 'jabatan', 'mempengaruhi putusan', dan 'mempengaruhi hakim'," tambah Ronald.
Apalagi, barang bukti berupa uang tunai dan emas tersebut diduga kuat bukan milik Zarof Ricar. Berdasarkan bukti catatan-catatan khusus, Zarof Ricar lebih tepat diposisikan sebagai gatekeeper atau penyimpan uang suap, bukan sebagai penerima akhir.
Hal ini penting agar dapat diketahui peran Zarof Ricar dalam tindak pidana, apakah sebagai pelaku langsung (pleger), pelaku peserta (medepleger), penggerak (uitlokker), penyuruh (doen pleger), atau hanya sebagai pembantu (medeplichtige). Dakwaan harus dirumuskan jelas agar tidak terjadi kekaburan (obscuur libel), sesuai dengan Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor SE-004/J.A/11/1993 dan Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor B-845/F/Fjp/05/2018.
"Sangat tidak masuk akal ketika barang bukti berupa uang tunai Rp915 miliar dan 51 kilogram emas beserta dokumen bertuliskan nomor perkara dan kode-kode tertentu hanya dikualifikasikan sebagai gratifikasi. Apalagi, jabatan terdakwa sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA RI bukan seorang hakim dan tidak berwenang memutus perkara," kata Sugeng Teguh Santoso, SH.
Sugeng menegaskan, surat dakwaan yang disusun Jampidsus Febrie Adriansyah dan dibacakan JPU M. Nurachman Adikusumo tidak cermat dan melanggar Pasal 143 ayat (2) KUHAP, serta ketentuan dalam SE Jaksa Agung RI Nomor SE-004/J.A/11/1993 dan Petunjuk Teknis Nomor B-845/F/Fjp/05/2018.
Berdasarkan hasil penggeledahan dan penyitaan dalam kasus Zarof Ricar, jaksa seharusnya mengembangkan dan menjelaskan siapa pemberi uang dan emas tersebut, serta tujuan pemberiannya. Ini merupakan bagian dari prinsip cermat dalam penyusunan dakwaan.
"Penuntut umum diduga telah mengetahui fakta yang sebenarnya mengenai pihak pemberi dan hakim penerima suap terkait uang tunai Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Oleh karena itu, perbuatan ini dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan kewenangan sesuai dengan Pasal 421 KUHP," tegas Sugeng lagi.
Dengan demikian, penuntut umum yang membuat dakwaan tidak sesuai ketentuan hukum telah melanggar Kode Perilaku Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf b Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER–014/A/JA/11/2012. Jaksa seharusnya bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

