AS Kritik Sertifikasi Halal hingga QRIS, HIPMI: Terlalu Intervensi Internal Indonesia
SinPo.id - Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menanggapi kritikan Amerika Serikat (AS) terhadap aturan sertifikasi halal, sistem pembayaran domestik seperti Quick Responese Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), yang menjadikannya salah satu alasan penerapan tarif resiprokal 32 persen terhadap produk Indonesia. AS menganggap, kebijakan halal Indonesia menjadi hambatan teknis perdagangan mereka.
"Menyebutnya sebagai hambatan teknis perdagangan karena dianggap tidak transparan adalah sebuah overreach. Bila ada hal-hal teknis yang perlu disinkronkan, Indonesia sangat terbuka untuk berdialog," kata Anggawira saat dihubungi SinPo.id, Senin, 21 April 2025.
Anggawira menekankan, yertifikasi halal adalah amanah undang-undang di Indonesia. Hal itu merefleksikan kebutuhan domestik akan jaminan konsumen, khususnya yang mayoritas Muslim. Karenanya, sangat tidak tepat apabila negara tertentu terlalu jauh mengintervensi kemandirian negara lain.
"Intervensi terhadap kebijakan internal yang berbasis pada nilai dan konstitusi bangsa jelas tidak dapat dibenarkan," tegasnya.
Begitu pula dengan sistem pembayaran nasional seperti QRIS dan GPN. Angga menilaj, negara sebesar Indonesia butuh sistem yang menjamin kemandirian, efisiensi, dan perlindungan data.
"Justru menjadi aneh apabila negara besar seperti AS, yang selama ini menjunjung data sovereignty, sekarang mempertanyakan kedaulatan digital negara lain," ungkapnya.
Lebih lanjut, Anggawira mensiyalir apa yang diresahkan AS tersebut bisa menjadi pola lama dari negara besar, menggunakan isu standar teknis, sertifikasi, atau sistem lokal untuk menekan negara berkembang agar tunduk pada sistem global yang dikendalikan segelintir korporasi besar mereka.
"Kritik ini patut diduga sebagai upaya mendorong liberalisasi pasar dengan cara yang tidak seimbang, bahkan cenderung hegemonik," kritiknya.
Untuk itu, Anggawira meminta pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas bahwa regulasi domestik tidak bisa didikte oleh negara lain. Namun, Indonesia terbuka untuk memperbaiki sistem agar lebih transparent, accountable, dan internationally recognized, selama tidak mengorbankan prinsip dasar kebangsaan. "Kita siap berdialog, tapi bukan tunduk," tukasnya.
Sebelumnya, Pemerintah AS menilai, aturan halal Indonesia menjadi hambatan teknis perdagangan mereka, dan menjadikannya salah satu alasan penerapan tarif resiprokal sebesar 32 persen. Hal ini tercantum dalam dokumen resmi Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 atau National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR).
Dalam laporan itu juga AS menyoroti kebijakan pembayaran digital Indonesia, seperti QRIS dan GPN yang dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan perusahaan asing. Mereka juga mengkritik kewajiban agar seluruh transaksi ritel domestik diproses melalui institusi switching lokal yang berizin Bank Indonesia, lantaran dianggap membatasi akses dan partisipasi pelaku usaha internasional
Untuk kebijakan halal Indonesia, AS secara spesifik mempersoalkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dan seluruh regulasi turunannya, mulai dari Keputusan Menteri Agama hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan BPJPH. Mereka menyebut, kebijakan itu mengganggu akses pasar dan menambah beban biaya bagi pelaku usaha AS yang mengekspor produk ke Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, sertifikasi halal wajib untuk makanan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, produk rekayasa genetika, barang konsumsi, dan produk kimia yang dijual di Indonesia. Semua proses bisnis, termasuk produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemasaran, tercakup dalam undang-undang ini.
Dimana, para pemangku kepentingan AS khawatir bahwa Indonesia menyelesaikan banyak peraturan tersebut sebelum memberitahukan rancangan tindakan tersebut kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mempertimbangkan komentar pemangku kepentingan, sebagaimana disyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan dan sebagaimana direkomendasikan oleh Komite WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Komite TBT WTO).
Dalam dokumen keberatan itu dikatakan bahwa keputusan Menteri Agama (MORA) No. 748/2021 menguraikan berbagai macam produk yang memerlukan sertifikasi halal. Peraturan ini diubah dengan Keputusan MORA No. 944/2024 untuk kategori makanan dan minuman.
Jenis produk lainnya, seperti obat-obatan, kosmetik, produk rekayasa genetika, produk kimia, produk biologi, dan barang konsumsi masih mengacu pada Keputusan MORA No. 748/2021.
Keputusan MORA No. 1360/2021, juga dikenal sebagai "daftar positif" halal, menetapkan daftar makanan, bahan, aditif, dan bahan lain yang tidak diwajibkan untuk memperoleh sertifikasi halal.
AS menganggap itu adalah dokumen yang hidup. Artinya, dapat diubah tanpa memerlukan penerbitan keputusan baru. Keputusan Menteri Agama Nomor 816 Tahun 2024 mengidentifikasi produk makanan dan minuman tertentu (berdasarkan kode HS) yang wajib disertifikasi halal.
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Nomor 3 Tahun 2023 mengatur akreditasi badan sertifikasi halal (BPH) asing dan penilaian kesesuaian yang harus mereka selesaikan.
"Amerika Serikat khawatir bahwa peraturan akreditasi tersebut menciptakan permintaan dokumen yang berlebihan, persyaratan yang semakin memberatkan bagi auditor untuk memenuhi syarat, dan kebijakan rasio cakupan-auditor yang sewenang-wenang, yang semuanya meningkatkan biaya dan menunda prosedur akreditasi secara tidak perlu bagi BPH AS yang ingin mendapatkan akreditasi untuk menerbitkan sertifikat halal bagi ekspor AS ke Indonesia," bunyi dokumen tersebut.

