Politisi Golkar Henry Indraguna Minta Pemerintah Respons Tarif Impor Trump
SinPo.id - Kebijakan tarif impor 32 persen yang diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 2 April 2025 dan akan berlaku mulai 9 April 2025 terus jadi sorotan.
Politisi Partai Golkar Henry Indraguna memuji sekaligus mengkritisi respon pemerintah Indonesia menanggapi kebijakan ekonomi AS. Menurutnya, respons yang dilakukan pemerintah saat ini belum bisa menyelamatkan buruh dan pelaku UMKM. Apalagi eksekusinya masih tahap rencana. Rakyat Indonesia akan menjadi pihak yang paling menderita akibat kebijakan proteksionisme "America First" ini jika pemerintah Indonesia lamban bergerak.
"Dampak paling nyata adalah harga barang naik, daya beli rakyat tertekan. Data terkini sudah ada 40 ribu pekerja yang PHK per Februari 2025 berdasarkan data Apindo. Sektor tekstil, alas kaki, dan elektronik yang bergantung pada ekspor ke AS terpukul keras," kata Henry dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 8 April 2025.
Henry juga mengingatkan pelemahan rupiah yang kini berada di atas Rp17 ribu per satu dolar Amerika. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan nilai kurs dibandingkan dengan kemarin.
"Rakyat yang hidup dari gaji harian atau usaha mikro jadi korban utama. Pengeluaran mereka membengkak, tapi pendapatan stagnan," katanya
Henry memaparkan, ekspor Indonesia ke AS, yang menyumbang 10,5 persen dari total ekspor non-migas, terancam anjlok hingga 20 persen berpotensi memangkas PDB sebesar 0,4 persen. UMKM sebagai rantai pasok industri ekspor juga kehilangan pesanan, memperparah tekanan ekonomi di tingkat lokal.
"Pedagang kecil dan pengrajin yang selama ini jadi tulang punggung ekonomi masyarakat kini omzetnya turun drastis," kata Wakil Ketum DPP Bapera.
Meski begitu, ia tetap mengapresiasi beberapa langkah pemerintah yang cukup antisipatif dan responsif terhadap kebijakan Trump yang memicu sentimen negatif dunia.
Di sisi lain, kata Henry, diplomasi ke Washington, diversifikasi pasar ke China, India, dan Asean, serta komitmen BI menjaga stabilitas rupiah patut diapresiasi. Ada pula rencana hilirisasi dan menghidupkan 80 ribu koperasi desa adalah langkah taktis untuk menjaga ekonomi domestik.
Birokrasi Tidak Efisien
Henry juga menyoroti pendekatan birokrasi yang boros dan cenderung tidak efisien. Menurut dia, rapat lintas kementerian dapat menghabiskan dana ratusan juta hingga miliaran rupiah.
"Uang itu sejatinya bisa memberikan subsidi buruh atau UMKM. Dan bukan menjadi laporan tebal menumpuk yang tak selesai-selesai tindak lanjutnya," kata dia.
Dia memberikan masukan kepada pemerintah agar bisa bertindak cepat dengan memanfaatkan data yang sudah ada. Seperti statistik ekspor-impor dan laporan Apindo, daripada menghabiskan waktu untuk hitung-hitungan ulang.
"Rakyat tidak butuh rapat berulang-ulang lagi. Tapi yang diperlukan adalah aksi nyata. Percepat negosiasi di WTO dan alihkan anggaran rapat tersebut untuk bantalan sosial. Jangan sampai kita kalah cepat dari negara tetangga," tegasnya
Henry kemudian menyebut sebuah prinsip yang disampaikan ekonom John Maynard Keynes.
"Dalam jangka panjang kita semua mati. Pemerintah harus sadar, menunda aksi hanya memperpanjang penderitaan rakyat yang sudah tak tahan menunggu," pungkasnya.

