Industri Padat Karya Kemungkinan Bakal Terpukul Akibat Tarif Resiprokal Trump

Laporan: Tio Pirnando
Minggu, 06 April 2025 | 03:18 WIB
industri
industri

SinPo.id -  Direktur Eksekutif NEXT Indonesia, Christiantoko menilai, kebijakan tarif resiprokal Amerika Serika (AS) sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia, akan menekan usaha padat karya, seperti pakaian, aksesoris, mebel, furnitur, dan lain-lain.

Menurut dia, kebijakan Trump tersebut bisa menimbulkan risiko yang cukup signifikan bagi industri padat karya.

"Kebijakan tarif Amerika ini menimbulkan risiko yang cukup signifikan bagi Indonesia, karena memukul industri padat karya,” ujar Christiantoko dalam keterangannya, Sabtu, 5 April 2025. 

Christiantoko memaparkan, dari hasil riset NEXT Indonesia, tiga komoditas sektor usaha padat karya yang bakal terpukul adalah pakaian dan aksesorinya - rajutan (HS 61), pakaian dan aksesorinya - bukan rajutan (HS 62), serta mebel, furnitur, dan perabotan (HS94). 

Secara keseluruhan, nilai ekspor tiga komoditas tersebut ke AS pada 2024 mencapai US$6,0 miliar. Sedangkan nilai selama periode 2020-2024 mencapai US$30,4 miliar.

Christiantoko menjelaskan, alasan sektor-sektor tersebut paling terpukul, karena pasar AS menyerap lebih dari separuh dari total ekspor tiga komoditas asal Indonesia tersebut yang dikirim ke seluruh dunia. 

Untuk pakaian dan aksesorinya rajutan sama misalnya, yang diserap pasar AS mencapai 60,5 persen atau senilai US$12,2 miliar selama lima tahun tersebut.

Dimana, daya serap AS terhadap  komoditas pakaian dan aksesorinya yang bukan rajutan asal Indonesia, sepanjang lima tahun di periode yang sama, nilainya mencapai US$10,7 miliar atau 50,5 persen dari total ekspor Indonesia ke dunia. 

Begitu pun dengan komoditas mebel, furnitur, dan perabotan, Amerika menyerap 58,2 persen atau sekitar US$7,5 miliar.

"Jadi, kalau pengiriman ke Amerika Serikat terhambat gara-gara tarif, ekspor komoditas-komoditas tersebut bisa terganggu atau bahkan mungkin tumbang. Sebab lebih dari separuh produk-produk tersebut diserap oleh pasar Amerika," terangnya.

Karenanya, jika ekspor tekstil terhambat, akan berdampak pada keberlangsungan tiga juta tenaga kerja di sektor tersebut. 

"Ini masalah serius yang harus dipikirkan oleh pemerintah, apalagi saat ini sedang ramai-ramainya informasi tentang PHK," paparnya.

Kemudian, produk lainnya seperti olahan dari daging, ikan, krustasesea dan moluska, juga diserap oleh pasar AS. Bahkan, tercatat menyerap US$4,3 miliar atau 60,2 persen  dari total ekspor Indonesia pada periode .2020-2024. 

Dari 10 komoditas yang dianalisis NEXT Indonesia, yang terbesar memang komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS85), yakni senilai US$4,2 miliar pada 2024 atau US$14,7 miliar untuk periode 2020-2024. 

Namun, dari total ekspor Indonesia ke dunia untuk komoditas tersebut, rata-rata daya serap pasar AS hanya 22,6 persen. 

"Jadi, walaupun ada pengaruhnya, ya tidak sebesar yang terjadi pada empat komoditas lainnya, yang lebih dari separuhnya diserap pasar Amerika," paparnya.

Lebih lanjut, Christiantoko mengingatkan, yang paling mendesak untuk dilakukan saat ini oleh pemerintah adalah diplomasi. Ia berharap, melalui Kedutaan Besar Indonesia di AS untuk memperjuangkan penurunan tarif resiprokal, sebelum pemberlakuan jatuh tempo. "Jangan sampai terlambat. Saatnya untuk diplomasi segera," tegasnya. 

Apalagi, dalam lima tahun terakhir (2020-2024) AS merupakan negara tujuan utama yang menjadi penyerap terbesar komoditas ekspor Indonesia, setelah Cina. 

"Menurut catatan NEXT Indonesia, neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika terus mengalami surplus dalam 27 tahun terakhir, yakni periode 1998-2024," tukasnya. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI