Masjid Kamina: Tonggak Islam di Tanah Bima

SinPo.id - "Mereka yang tidak mengingat masa lalu, akan dihukum untuk mengulangi hal yang sama." - George Santyana (filsuf Spanyol)
Cerita tentang masjid kali ini akan membawa kita ke Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Bima menyimpan ragam sejarah masa lampau akan kejayaan Islam yang cukup gilang gemilang.
Satu di antaranya adalah Masjid Kamina yang terletak di dataran tinggi pegunungan Desa Kalodu Kecamatan Langgudu.
Masjid kuno ini sebagai bukti sejarah kejayaan Islam di tanah Bima. Jauh sebelum Indonesia merdeka dari kolonial Belanda.
Bima, dahulu merupakan salah satu kerajaan di Nusantara yang mengalami masa-masa Hindu, dan akhirnya berubah menjadi bercorak Islam.
Pendiri Kerajaan Bima adalah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima, yang akhirnya menurunkan raja-raja Bima.
Peter Truhart dalam "Regent of Nations, Part 3: Asia-Pacific and Oceania" menuliskan, Kerajaan Bima masa Hindu berdiri sejak permulaan abad ke-13 Masehi.
Saat itu, wilayah yang menjadi kekuasaan Kerajaan Bima meliputi sejumlah pulau di Nusa Tenggara, seperti Sumbawa, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai, Komodo, dan lainnya.
Sebelum berbentuk kerajaan, wilayah Bima terbagi dalam beberapa kekuasaan yang pimpinan wilayahnya disebut Ncuhi.
Para Ncuhi semula membentuk federasi kemudian sepakat mengangkat Sang Bima, yang mengajarkan agama Hindu, sebagai pemimpin.
Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima justru pergi ke Kerajaan Medang di Jawa Timur. Dalam perkembangannya, Sang Bima mengirim putranya, Idra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan Bima.
Indra Zamrud lantas dinobatkan sebagai raja Bima yang pertama. Selama empat abad menjadi kerajaan bercorak Hindu, terdapat 26 raja yang pernah memerintah Bima.
Adapun penguasa pertama yang masuk Islam adalah Ruma Ta Ma Bata Wadu atau Abdul Kahir, raja Bima ke-27 yang berkuasa antara 1620-1640.
Islam Masuk Bima
Awal mula kehadiran agama Islam ke Bima dan daerah sekitarnya belum dapat ditentukan secara pasti.
Tawalinuddin Haris dalam Jurnal Lektur Keagamaan (Vol. 10, No. 1, 2012: 23 - 50), menuliskan bahwa kronik Bima atau yang lazim disebut Bo Kerajaan Bima mencatat bahwa pada masa raja Bima, Sariese, terjadilah kontak pertama dengan orang-orang Eropa, sedangkan raja Bima berikutnya, Sawo, adalah raja terakhir yang belum memeluk agama Islam.
Helius Syamsuddin dalam karyanya "The Coming of Islam and The Role of The Malays as Middelman on Bima", menghubungkan kedatangan Islam di Bima dan daerah sekitarnya dengan kejayaan Malaka sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara antara tahun 1400-1511.
Asumsinya, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, saudagar-saudagar muslim yang juga muballig, mencari daerah baru atau kembali ke Jawa dan Sumatera untuk meneruskan aktivitasnya.
Diantara mereka ada yang singgah di Bima lalu menyebarkan agama Islam dalam perjalanannya dari Jawa ke Maluku atau sebaliknya.
Sedangkan Tome Pires dalam karya perjalanannya "Suma Oriental", melaporkan bahwa rute pelayaran pelayaran perdagangan dari Malaka ke Maluku atau sebaliknya meliwati Jawa dan Bima.
Di Bima, para pedagang menjual barang-barang yang dibawa dan dibeli dari Jawa, kemudian membeli pakaian (kain kasar) dengan harga murah untuk dijual (ditukar) dengan tempah-rempah di Banda dan Maluku.
Berbagai produk yang diekspor dari Bima dan Sumbawa adalah kuda, daging, budak, kayu celup dan budak.
Adanya rute pelayaran perdagangan dari Malaka ke Maluku yang melewati pantai utara pulau Jawa menyebabkan hubungan antara Malaka dengan beberapa kota di pantai utara pulau Jawa terutama Gresik, terjalin dengan baik.
Karena Gresik adalah pelabuhan yang mengontrol impor rempah-rempah dari Banda dan Maluku.
Setiap tahun tidak kurang delapan buah jung tiba di Maluku, sebagian diantaranya datang dari Malaka dan sebagian lagi dari Gresik.
Dalam sumber yang lain dikatakan bahwa Islam dibawa ke Bima oleh Datuk Dibandang dan Datuk Ditiro, yang dalam Kronik Goa dan Tallo disebut-sebut sebagai pembawa agama Islam di kerajaan Goa dan Tallo.
Mereka kedua, diduga adalah orang Melayu yang datang dari Sumatera dan Datuk Dibandang adalah seorang bangsawan Minangkabau dari Pagaruyung. Kedua mubalig itu datang di Bima sebagai utusan sultan Goa untuk menyebarkan agama Islam.
Mereka menjadi guru agama sultan Abdul Kahir, sultan Bima pertama, yang sebelumnya seorang Putra Mahkota La Kai yang bergelar Ruma Ta Ma Bata Wadu. Abdul Kahir, raja Bima ke-27 yang berkuasa antara 1620-1640.
Sejak saat itu, Islam menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Bima. Hubungan kekerabatan antara Bima dan Gowa-Tallo juga semakin kuat setelah Sultan Abdul Kahir menikahi adik ipar sultan Gowa-Tallo.
Peran Masjid Kamina
Masjid ini pertama kali dibangun oleh putra mahkota kerajaan Bima bernama La Kai, kemudian dikenal dengan nama Sultan Abdul Kahir. Pendirian masjid di Bukit Kalodu ini sebagai pertanda masuknya Islam di Bima. Masjid tersebut diberi nama Masjid Kamina.
Nama Kamina diambil karena masyarakat setempat pertama kali mengamini masjid tersebut. Dalam bahasa Bima berbunyi "ra ka amina Isla" yang berarti mengaminkan islam.
Selain Kamina, masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid Kalodu karena bangunannya berlokasi di desa Kalodu kecamatan Langgur, ditempuh 75 KM dari pusat kota.
Masjid Kamina tidak memiliki dinding di sisi kanan dan kirinya, juga tak memiliki mihrab seperti masjid-masjid yang lain. Masjid Kamina juga hanya memiliki satu tiang pilar yang menancap horizontal ke atap masjid, lantainya beralaskan tanah keras.
Konon, bentuk masjid ini memiliki makna. Masjid bersegi empat sama sisi sebagai simbol empat putra Kerajaan Bima yang memeluk agama Islam, yaitu La Kai (Abdul Kahir), La Mbilla (Jalaluddin), Bumi Jara Mbojo (Awaluddin), dan Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa'a Tonggo Dese (Sirajuddin).
Empat sisi itu juga menjadi simbol empat Mubalig yang menjadi guru bagi keluarga kerajaan yang berasal dari tanah Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.
Menurut sejumlah sumber sejarah, bukit Kalodu merupakan tempat pelarian putra mahkota La Kai saat terjadi peristiwa perebutan kekuasaan di lembaga pemerintahan kerajaan.
La Kai bersama pengikutnya terpaksa meninggalkan istana Kerajaan Bima lantaran hendak dibunuh pamannya bernama Salisi yang berambisi ingin menjadi Raja.
Berkat peran dan bantuan para mubaligh dari Sulawesi Selatan, La Kai berhasil merebut kekuasaannya kembali dari tangan Salisi. Dia kemudian menganut Islam.
Diceritakan, setelah beberapa bulan menganut Islam, La Kai bersama pengikutnya serta para mubaligh mendirikan sebuah masjid di bukit Kalodu sebagai pertanda awal mulanya penyiaran Islam masuk di tanah Bima.
Abdul Kahir kemudian Sultan pertama di Bima, atau raja pertama Bima yang menganut agama Islam. Dia dinobatkan pada 5 Juli 1640 M dengan gelar Sultan Abdul Kahir setelah melalui perjuangan yang panjang untuk merebut tahta.
POLITIK 2 days ago
GALERI 1 day ago
HUKUM 1 day ago
GALERI 10 hours ago
HUKUM 2 days ago
OLAHRAGA 2 days ago
POLITIK 7 hours ago