Jum'at, 14 Maret 2025
JADWAL SALAT & IMSAKIAH
Imsak
00:00
Subuh
00:00
Zuhur
00:00
Ashar
00:00
Magrib
00:00
Isya
00:00
Khazanah Islam

Masjid Tuo Ampang Gadang: Saksi Bisu Perang Padri

Laporan: Tio Pirnando
Rabu, 05 Maret 2025 | 13:41 WIB
Masjid Tuo Ampang Gadang (Sinpo.id/DPRD Sumbar)
Masjid Tuo Ampang Gadang (Sinpo.id/DPRD Sumbar)

SinPo.id -  "Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah." Artinya: Adat Minangkabau berdasarkan syariat Islam, dan syariat berdasarkan Al-Qur'an.

Aforisme itu merupakan falsafah hidup suku Minang, yang tidak terlepas dari nilai-nilai islam. Bahkan, agama Islam telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Sumatera Barat, termasuk bagi mereka yang merantau. 

Lalu, apa hubungan falsafah itu dengan Masjid Tuo Ampang Gadang yang akan kita bahas ini? Tentu ada. Bangunan Masjid yang berusia dua abad ini terletak di Desa Ampang Gadang, Kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Masjid ini salah satu saksi bisu dari perjalanan penyebaran Islam di ranah Minang, serta saksi perlawanan terhadap pasukan penjajah. 

Namun, mirisnya, jika kita menelusuri kondisi masjid baik melalui artikel, maupun video-video di Youtube, sangat menyedihkan melihatnya.

Butuh kerja sama semua pihak untuk menyelamatkan dan melestarikan situs sejarah ini. Padahal, sejak 2007 silam, Masjid Tuo Ampang Gadang sudah ditetapkan sebagai Warisan Cagar Budaya. 

Dilansir dari berbagai sumber, masjid ini diperkirakan mulai dibagun tahun 1834 dan selesai tahun 1837. Masjid ini menjadi tempat perjalanan perjuangan tokoh Muhammad Syahab atau dikenal Tuanku Imam Bonjol saat berlangsungnya Perang Padri. 

Petite Histoire Padri 

Gerakan Padri sendri muncul di Minangkabau setelah tiga orang pulang haji dari Makkah pada 1803, yakni Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.

Ciri-ciri Kaum Padri: menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam, berusaha memurnikan ajaran Islam, menolak tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam. 

Mengetahui hal itu, Tuanku Nan Renceh dari Kamang, yang merupakan pemimpin dari Harimau Nan Salapan, dewan perkumpulan delapan tokoh Islam, ikut mendukung keinginan ketiga orang haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau.

Harimau Nan Salapan kemudian meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan, tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring hal itu, beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak.

Puncaknya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah.

Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.

Berdasarkan catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, dia menyebutkan hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.

Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung tidak pasti, Kaum Adat yang dipimpin Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan  Belanda, meskipun sebenarnya saat itu dia dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.

Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Sultan Tangkal Alam Bagagar kemudian diangkat sebagai Regent Tanah Datar.

Belanda akhirnya terlibat dalam perang karena diundang oleh Kaum Adat. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema atas perintah Residen James du Puy di Padang.

Pada 8 Desember 1821, datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi di kawasan yang telah dikuasai tersebut.

Pasukan Letnan Kolonel Raaff pun berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. 

Belanda kemudian membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.

Pada 10 Juni 1822, pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. 

Berikutnya, Kapten Goffinet menderita luka berat dalam pertempuran di Baso pada  hingga akhirnya meninggal dunia pada 5 September 1822.

Pada September 1822, pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar pada 16 April 1823. Sementara itu, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff pada 1824.

Namun, raja terakhir Minangkabau ini akhirnya wafat pada 1825 dan dimakamkan di Pagaruyung. Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.

Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam, yaitu Koto Tuo dan Ampang Gadang.

Pasukan itu kemudian juga menduduki Biaro dan Kapau, tetapi Laemlin akhirnya meninggal dunia di Padang pada Desember 1824 karena luka-luka yang dideritanya dalam pertempuran.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh, sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. 

Sebab itu, Belanda melalui residennya di Padang mengajak imam Kaum Padri, yang waktu itu telah dipimpin oleh Imam Bonjol, usai ditunjuk oleh Tuanku nan Renceh, untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada 15 November 1825.

Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Imam Bonjol, tokoh Kaum Padri, berusaha  memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat, sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama "Adait Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.

Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri.

Hal ini didasari oleh keinginan kuat penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan darek (pedalaman Minangkabau). Begitulah kisah singkatnya. Untuk lebih utuh memahami kisahnya, Anda bisa membaca di buku-buku sejarah. 

Peran Masjid Tuo Ampang Gadang

Masjid ini, selain tempat ibadah dan belajar mengaji, juga sebagai basis kaum Padri untuk menyusun dan mengatur strategi perang dalam melawan pasukan kolonial.

Karenanya, patut disebut masjid ini tidak terlepas dari perjalanan perjuangan Tuanku Imam Bonjol. 

"Masjid Tuo Ampang Gadang merupakan salah bukti, jejak-jejak dari perjuangan Tuanku Imam Bonjol, di mana di Masjid Tuo tempat berkumpul orang-orang shaleh yang taat menjalankan amalan agama Islam," cerita Remizal Dt Parpatiah, tokoh masyarakat sekaligus pengurus Masjid Tuo Ampang Gadang mengisahkan, pada 16 Oktober 2023, dikutip dari suaramasjid.com

Melihat kondisi terkini, Dt Parpatiah cukup prihatin. Masjid Tuo Ampang Gadang telah rusak berat dan butuh perhatian semua pihak untuk melestarikannya.

Perlu adanya keseriusan untuk bisa menjaga dan melestarikan salah satu bangunan bersejarah ini. Ke depannya, tempat ini bisa berpotensi menjadi destinasi atau objek wisata daerah yang menjanjikan, serta untuk menggali perkembangan sejarah Islam di Sumatera Barat.

"Masjid Tua Ampang Gadang sebagai salah satu saksi sejarah perkembangan Islam di Minangkabau, yang juga salah satu titik riwayat perjuangan perlawanan masyarakat Sumbar melawan kolonial Hindia Belanda di masa Perang Padri, tentulah perlu dilestarikan untuk diketahui oleh generasi ke generasi masa datang," kata Dt Parpatiah.

 

BERITALAINNYA