Masjid Agung Demak: Tempat "Nongkrong" Para Wali Songo
SinPo.id - Masjid Demak merupakan tempat pusat dakwa ummat Islam di tanah Jawa, tidak terlalu banyak yang membahas atau sudah banyak yang membahas, tapi penulis saja yang kurang jauh membaca sejarahnya.
Perlu dijelaskan, mungkin kata "nongkrong" pada judul di atas kurang tepat. Frasa tidak lain hanya sebagai salah satu cara untuk mengelitik minat anak-anak muda agar kembali membaca, mempelajari sejarah-sejarah perkembangan Islam di Nusantara, termasuk di Pulau Jawa, melalui peran masjid-masjidnya.
Sebab, sejarah tidak hanya soal manusianya saja, melainkan bangunan-bangunannya juga memiliki nilai tersendiri untuk dipelajari, sebagaimana Hagia Sophia bangunan ikonik di Istanbul, Turki, yang pernah menjadi gereja, museum, dan masjid.
Maka, sebelum kita melihat keindahan-keindahan bangunan di luar negeri, alangkah baiknya kita juga mempuyai wawasan akan warisan di dalam negeri, yang tidak kalah menariknya.
Tidak jarang, orang luar lebih memahami Nusantara, ketimbang orang Indonesia sendiri. Bukankah itu memalukan bagi kita sebagai bangsa yang (katanya) besar, tapi tidak tahu akan kebesarannya.
Ketika berwisata ke Indonesia, para bule-bule justru takjub akan peninggalan sejarah yang panjang di bumi pertiwi ini. Baik arsitektur tradisional bangunannya, hingga kisah serta peran dibalik bangunan tersebut. Hal ini yang membuat negara khatulistiwa menjadi magnet untuk penelitian.
Kisah Pendirian
Masjid Agung Demak adalah salah satu masjid tertua yang ada di Pulau Jawa. Masjid yang dibangun dengan dukungan Wali Songo ini menjadi pusat peribadahan Kerajaan Islam pertama di Jawa. Masjid Demak berperan juga sebagai jantung penyebaran Islam dan penanaman akidah Islam bagi Masyarakat Demak.
Selain itu, Masjid Agung Demak dapat dikatakan sebagai pondasi awal bagi penyebaran Islam di Jawa.
Dalam proses pembangunan masjid ini melalui tiga waktu, dengan beragam versinya. Pada tahun 1466, masjid ini masih berupa bangunan pondok pesantren Glagahwangi yang berada di bawah pengasuhan Sunan Ampel. Sebelas tahun berikutnya, tepatnya pada 1477, dibangunlah sebagai Masjid Kadipaten Glagahwangi. Dan tahun 1478, Ketika Kerajaan Demak dibawah pemerintahan Raden Fatah, dilakukan renovasi secara besar-besaran, sehingga berhasil menjadi Masjid Agung Demak yang kita kenal saat ini.
Dengan demikian, masjid ini dipergunakan sebagai pusat penyebaran agama Islam oleh Wali Songo, yang dilakukan dengan berbagai cara seperti pendidikan, kesenian dan kebudayaan.
Sejumlah babad telah mengisahkan soal pembangunan Masjid Agung Demak. Salah satu yang terperinci, adalah Babad Jaka Tingkir.
Konon, setian hari Senin, berkumpulah para wali hingga pembesar daerah. Disaksikan pula oleh para adipati, para pandita, ulama, dan lain-lain.
Pertemuan membicarakan maksud para wali untuk mendirikan sebuah masjid besar sebagai tempat berembug, berkumpul, menjalankan ibadah salat Jumat. Sebuah bangunan yang indah untuk dijadikan "pusaka bagi Negara Demak" dan "dikeramatkan oleh para ratu di Tanah Jawa."
Masjid ini akan menggantikan masjid lama yang diprakarsai pembangunannya oleh Sunan Ampel.
Dibahas pula pembagian tugas masing-masing. Para wali bertanggung jawab atas pembangunan empat tiang utama (saka guru), penopang utama struktur seluruhnya. Pekerjaan lainnya dibagi kepada kerabat kerajaan, bangsawan, bupati, para ksatria (elite militer), hingga para mantra.
Sedangkan jemaah atau masyarakat umum, diberi tugas menyelesaikan bagian atas (sirap) atas dasar gotong-royong (urunan).
Nancy K. Florida, seorang Indonesianis yang juga peneliti naskah-naskah kuno Jawa, membedah Babad Jaka Tingkir dalam karyanya "Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang". Dalam tulisannya, Nancy menerangkan bahwa pembagian itu menunjukkan bagaimana para wali merencanakan suatu hierarki skematis kekuasaan dengan puncak atau lebih tepatnya pondasi hierarki tersebut dimapankan untuk para wali.
Dalam Babad Jaka Tingkir juga merincikan proses pembangunan masjid. Termasuk bagian terpenting di mana "secara ajaib" Sunan Kalijaga membuat tiang dari potongan-potongan balok (saka tatal) dan menentukan arah kiblat.
"Atas kesepakatan para Wali Agung, di pindahlah masjid lama dari tempat semula ke Suranatan. Konon mesjid lama itu hanya diperuntukkan ibadah sang ratu saja, dinamakan pula ‘masjid-jero’ (jero berarti di dalam)," tulis Babad Jaka Tingkir.
Dengan membangun Masjid Agung Demak, tulis Nancy K. Florida, para wali meninggalkan warisan yang langgeng bagi kuasa raja di Jawa. Dan proyek itu berhasil.
"Tradisi-tradisi babad ('Utama' dan yang lainnya) mengukuhkan bahwa jauh sesudah kejayaan Demak berlalu, Masjid Agungnya tetap lah menduduki status sebagai satu dari pusaka utama bagi 'Tanah Jawa' dan bagi para penguasanya," tulis Nancy.
Masjid tetap berdiri kokoh meski ada peralihan dari Demak ke Panjang lalu Mataram. Bahkan ketika masjid dalam kondisi parah, pemerintah kolonial memerintahkan para raja Surakarta dan Yogyakarta untuk mengurus pemugarannya.
Masjid Agung Demak juga punya arti penting bagi umat muslim di Jawa. Menurut sejarawan Belanda H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud dalam bukunya "Kerajaan Islam Pertama di Jawa (Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI)", keberadaan Masjid Demak amat penting bagi alam pikir orang Jawa.
"Kenyataan itu disebabkan oleh perkembangan sejarah. Masjid Demak telah menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah," tulis de Graaf dan Pigeaud.
Saking pentingnya, ada anggapan bila mengunjungi Kota Demak dan makam orang-orang suci di sana, dapat disamakan dengan naik haji ke Makkah. Sampai abad ke-19, Demak dipandang sebagai tanah suci.
"Itulah yang terutama menyebabkan nama Demak dalam sejarah Jawa tetap tidak terlupakan di samping nama Majapahit," tulis De Graaf dan Pigeaud.
Muhammad Zaki, dalam Tesisny berjudul "Kearifan Lokal Jawa Pada Wujud Bentuk dan Ruang Arsitektur Masjid Tradisional Jawa (Studi Kasus: Masjid Agung Demak)", dikutip dari National Geographic Indonesia, menuliskan bahwa Raden Fatah juga memberikan fasilitas penuh pendirian masjid ini, demi menunjang lancarnya tradisi keilmuan dan penyebaran Islam.
Masjid Agung Demak yang menjadi bagian dari pusat pemerintahan dan aset kerajaan, sering digunakan sebagai sarana bermusyawarah.
"Raden Fatah dan Kesultanan Demak merupakan representasi sinergi antara kekuasaan kesultanan dan pengembangan tradisi keilmuan Islam di Demak," tulis Zaki.
Wisata Religi
Masjid Agung Demak telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2015.
Berdiri di jantung Kota Demak, sebelah alun-alun dan kantor bupati, dengan arsitekturnya yang unik, menjadi masjid ini sebagai salah satu tujuan wisata religi, serta ziarah
Karena tidak jauh di sana, terdapat makam Raden Patah, makam Syekh Maulana Magribi, makam Pati Unus Raja Demak ke-2, dan makam Sultan Trenggono Raja Demak yang ke-3, makam Dewi Murthosimah, istri dari Raden Fattah, ibunda Raden Fattah yaitu Putri Champa, yang berasal dari Kerajaan Champa di Vietnam juga berada di area makam komplek Masjid Agung Demak, dan makam pembesar Demak lainnya.
Pengunjung masjid juga biasanya tak lupa untuk menengok situs kolam, tempat berwudhu para Wali Songo. Kolam yang bukuran 10x25 meter ini mempunyai tiga batu dengan ukuran yang berbeda.
Batu berwarna hitam yang lebih besar berdiri tegak, sedangkan dua batu hitam tergeletak bersamaan dengan batu hias lainnya yang ukurannya lebih kecil.
Selain itu, ada juga peninggalan yang masih tersimpan di Museum Masjid Agung. Seperti benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan Kerajaan Demak dan para wali songo.
Beberapa benda-benda tersebut antara lain bedug raksasa yang digunakan untuk mengumandangkan adzan, mimbar kayu ukir tempat khatib menyampaikan khutbah, ombak Kyai Gede Mataram milik Sunan Kalijaga, pedang Kyai Gede Pleret milik Sunan Kudus, Al-Quran tulisan tangan Sunan Bonang, Kitab Al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifa, Kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah, Kitab Futuh al-Ghaib karya Abdul Qadir al-Jailani.
Mari kita galakan berwisata di dalam negeri, sekaligus kembali mempelajari, serta mengkaji sejarah peninggalan pendahulu.

