Kemenperin Harap Danantara Lengkapi Investasi Pohon Industri yang Belum Terisi

SinPo.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berharap, keberadaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) dapat melengkapi investasi pohon industri yang saat ini belum terisi sepenuhnya. Terlebih, gelombang pertama investasi Danantara sebesar US$20 miliar atau Rp330 triliun (kurs Rp16.533), akan dialokasi untuk industrialisasi.
"Seperti yang disampaikan oleh Bapak Menteri Perindustrian, gelombang pertama investasi Danantara sebesar US$20 miliar akan dialokasikan ke sejumlah proyek industrialisasi, salah satunya petrokimia,” kata Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif dalam keterangannya, Jumat, 28 Februari 2025.
Febri menyampaikan, pemerintah telah menyiapkan beberapa proyek industrialisasi, yang merupakan salah satu prioritas Presiden Prabowo Subianto. Adapun pohon industri merupakan acuan dalam pengembangan suatu komoditas sehingga bisa memberikan nilai tambah yang merata, sekaligus mendorong hilirisasi.
Febri menerangkan bahwa pada Februari 2025 ini, Indeks Kepercayaan Industri (IKI) masih terus menunjukkan ekspansi dengan mencapai 53,15. Posisi ini meningkat 0,05 poin dibandingkan Januari 2025 atau meningkat 0,59 poin dibandingkan dengan Februari tahun lalu.
"Meningkatnya IKI bulan Februari ini ditopang oleh terjadinya ekspansi 21 subsektor industri dengan kontribusi terhadap PDB Triwulan IV 2024 sebesar 97,7 persen," tuturnya.
Peningkatan IKI bulan Februari ini dipengaruhi oleh ekspansinya seluruh variabel pembentuk IKI yaitu pesanan baru, produksi dan persediaan. Variabel pesanan baru mengalami ekspansi dengan peningkatan sebesar 1,83 poin dibanding bulan sebelumnya menjadi 54,57.
Di sisi lain, variabel produksi tetap mengalami ekspansi sebesar 50,55, meskipun turun 2,84 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Demikian juga dengan persediaan yang tetap ekspansi sebesar 53,52, walau menurun 0,06 poin dibandingkan Januari 2025.
Perlambatan produksi dan persediaan tersebut dikarenakan belum optimalnya penyerapan persediaan produksi pada bulan Februari ini, sehingga perusahaan industri berhati-hati dalam menambah produksinya.
Jika melihat daya beli masyarakat dalam Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), pada bulan Januari 2025 terjadi sedikit penurunan 0,5 poin dibandingkan Desember 2024. Penurunan keyakinan konsumen pada Januari tersebut disebabkan adanya sedikit penurunan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE), meskipun persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini tetap kuat.
Apabila dilihat lebih detail, terjadi penurunan proporsi konsumsi terhadap pendapatan, terutama pada tingkat pengeluaran Rp3,1 - 4 juta sebesar 70,9 persen di Januari 2025, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 72,8 persen. Di sisi lain, porsi pembayaran cicilan/utang terhadap pendapatan terindikasi meningkat pada seluruh tingkat pengeluaran. Hal ini menunjukkan adanya perubahan preferensi konsumen untuk menahan konsumsi kepada pembayaran cicilan/utang yang tentu saja mempengaruhi penyerapan produk industri pengolahan di pasar.
Subsektor dengan nilai IKI tertinggi pada Februari ini adalah Industri Peralatan Listrik dan Industri Pencetakan dan Reproduksi Media Rekaman.
Sedangkan, dua subsektor yang mengalami kontraksi adalah Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus (Tidak Termasuk Furnitur) dan sebagainya, serta Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan. Kontraksi kedua subsektor tersebut salah satunya dikarenakan penurunan permintaan.
Untuk itu, menurut Febri, perlunya mewaspadai industri elektronik, karena berdasarkan data Kemenperin, utilisasi industrinya selalu di bawah 40 persen. Sebagian perusahaan industri di subsektor ini tidak hanya sebagai produsen namun juga sebagai importir.
Hal ini dikarenakan demand domestik elektronik tidak terjaga baik, ditandai dengan banjir produk elektronik impor murah. Kondisi ini juga dipengaruhi adanya efisiensi belanja pemerintah yang merupakan salah satu konsumen besar produk industri elektronik.
Kemudian, belum ada regulasi untuk melindungi industrinya, seperti tata niaga untuk pembebasan yang belum kuat. Lalu, regulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang hanya berlaku untuk produk handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT) serta belanja barang dan jasa pemerintah.
Berikutnya, SNI yang belum seluruhnya diwajibkan, serta adanya tarif nol persen untuk produk-produk elektronika terutama barang hilir pada kerja sama regional atau bilateral.
Lebih lanjut, Kemenperin berharap agar dibuka ruang dalam pasar domestik bagi produk elektronik dalam negeri yang selama ini dibeli pemerintah melalui belanja APBN/APBD dan BUMN/BUMD.
Pembukaan ruang dalam pasar domestik ini dilakukan melalui pemberlakuan kebijakan pembatasan impor produk elektronik, sehingga pasar bisa diisi oleh produk elektronik industri dalam negeri. Pasalnya, industri elektronik sedang mengalami tekanan permintaan karena pengurangan belanja pemerintah untuk produk elektronik ber-TKDN.