Komunitas Kretek Nilai Aturan Penyeragaman Kemasan Rokok Merugikan Konsumen

Laporan: Tim Redaksi
Senin, 10 Februari 2025 | 17:42 WIB
Ilustrasi. Kemasan rokok (SinPo.id/iStockphoto)
Ilustrasi. Kemasan rokok (SinPo.id/iStockphoto)

SinPo.id - Komunitas Kretek menilai rencana penerbitan aturan yang menyeragamkan kemasan rokok merugikan konsumen.

Pernyataan ini disampaikan Komunitas Kretek merespons penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan dan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Salah satu poin yang disoroti dalam regulasi ialah terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Juru bicara Komunitas Kretek Khoirul Atfifudin menilai penyusunan kebijakan itu berpotensi merugikan konsumen secara luas.

Menurutnya, konsumen seharusnya mendapatkan informasi jelas dan detail seputar produk yang dibeli dan dikonsumsi sesuai hak yang sudah dilindungi dalam pada Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

"Konsumen nantinya tidak bisa mengajukan keberatan kalau tidak jelas merek dan perusahaannya, dan mereka jadi tidak terlindungi karena memang membingungkan," kata Khoirul dalam keterangannya pada Senin, 10 Februari 2025.

Khoirul melanjutkan, berbagai penolakan terhadap aturan itu yang telah disampaikan sejumlah pihak menunjukkan bahwa rencana aturan tersebut memiliki dampak buruk yang bisa memengaruhi banyak sektor.

Selain itu, Khoirul juga melihat penyusunan rancangan Permenkes tidak menjadi solusi untuk menurunkan prevalensi merokok. Justru, menurutnya, berpotensi membuka keran untuk peredaran rokok ilegal semakin besar dan luas.

"Kalau semua rokok sama, ini akan membuat rokok ilegal semakin gampang ditiru dan peredarannya semakin marak. Ada kerugian negara dari kebijakan ini karena permintaan rokok legal akan turun," kata Khoirul.

Ia mengingatkan, konsumen mulai memilih produk rokok dengan harga lebih murah saat ini.

Jika rancangan Permenkes diberlakukan, menurutnya, maka akan semakin mendorong perubahan konsumen mengonsumsi rokok ilegal, bukan mengurangi jumlah perokok yang sebelumnya diharapkan oleh Kemenkes.

Khoirul menilai Kemenkes malah membuat kebijakan yang mengerikan terhadap produk berstatus legal yang diperjualbelikan.

Ketimbang mengeluarkan kebijakan kontroversial yang menuai banyak polemik di masyarakat, Khoirul menyarankan agar pemerintah lebih fokus terhadap pengawasan aturan yang sudah dibuat.

Ia mencontohkan kebijakan batas usia minimum untuk membeli rokok adalah 21 tahun sesuai PP 28/2024, dan aturan ini seharusnya diterapkan dengan pengawasan yang tepat seperti pemberlakuan pembelian rokok menggunakan KTP.

"Kami kaji pemerintah terlalu sering menekan industri tembakau. Kalau terus ditekan, ini pemerintah menjadi terlalu kejam padahal, industri tembakau sudah banyak sumbangannya," katanya.

Seperti diketahui, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) mengalami koreksi sejak beberapa tahun belakangan. Misalnya pada 2023, di mana pemerintah mengantongi Rp210,29 triliun dari CHT, turun 3,81% secara tahunan (year-on-year) dari Rp218,6 triliun pada tahun sebelumnya. Ini adalah penurunan yang pertama dalam satu dekade terakhir.

Sedangkan dalam APBN 2025, target CHT pada tahun ini mencapai Rp230 triliun. Di samping itu, industri juga telah memberikan kontribusi pada penyerapan tenaga kerja di Indonesia, sebagai negara produsen rokok.

Khoirul menambahkan bahwa rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Permenkes merupakan agenda asing yang mengadopsi pasal-pasal dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Padahal, Indonesia secara resmi tidak meratifikasi FCTC dan memiliki ekosistem pertembakauan yang kompleks dari hulu ke hilir, tidak seperti negara-negara lainnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI