Tampilkan Data Hoaks Nilai Tukar Rupiah, Google Didesak Tanggung Jawab

SinPo.id - Direktur Eksekutif Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC), Pratama Persadha, mendesak platform Google bertanggung jawab atas penyebaran informasi keliru mengenai nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar Rp 8.170.65 per USD, pada Sabtu, 1 Februari 2025.
Menurut Pratama, informasi yang ditampilkan Google itu menimbulkan kebingungan, keresahan, bahkan potensi kegaduhan di masyarakat. Sebab, Google sela ini menjadi acuan bagi banyak orang di berbagai negara.
"Google harus bertanggung jawab karena turut menyebarkan berita hoaks terkait nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tidak sesuai dengan kenyataan," kata Pratama dalam keterangannya, Minggu, 2 Februari 2025.
Pratama menduga, beberapa kemungkinan penyebab kesalahan data yang ditampilkan Google, seperti kesalahan teknis atau platform penyedia informasi nilai tukar. Seperti Google mungkin mengalami bug atau gangguan sistem yang menyebabkan tampilan data tidak akurat.
Selain itu, lanjut Pratama,Google bisa saja mengambil data dari sumber atau penyedia informasi nilai tukar yang berbeda dari yang digunakan secara resmi. Termasuk kesalahan input (typo) dalam memasukkan angka ke dalam sistem dapat menyebabkan informasi yang salah diterima oleh pengguna.
Pratama melanjutkan, kemungkinan yang lebih serius adalah peretasan atau manipulasi sistem. Meskipun sangat jarang terjadi, kemungkinan adanya upaya peretasan atau manipulasi oleh pihak tertentu tidak bisa diabaikan.
"Meski Google jarang berhasil diretas, tetap ada kemungkinan pihak tertentu mencoba memanipulasi sistem, sehingga menyebabkan informasi yang ditampilkan menjadi tidak akurat," kata Pratama.
Dengan adanya kejadian ini, ia menegaskan pentingnya platform global seperti Google untuk lebih berhati-hati dalam menampilkan informasi yang berdampak luas, terutama terkait ekonomi dan keuangan.
"Dalam skenario ekstrem, manipulasi data kurs ini bisa digunakan sebagai bagian dari strategi spekulasi atau disinformasi untuk mengacaukan pasar," ujarnya.