Legislator Golkar Dukung Pembahasan Penghapusan PT 20 Persen Pakai Omnibus
SinPo.id - Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan mendukung opsi pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen menggunakan sistem omnibus law. Langkah ini dinilai bisa menghindari konflik.
"Metode omnibus kita akan dorong untuk dipilih dibanding kodifikasi atau terpisah seperti sekarang. Kalau terpisah seperti sekarang, normanya banyak yang bertentangan (conflicting). Penyelenggara pemilu akan kebingungan, begitu juga pihak lainnya yang baca UU Pemilu. Kalau kodifikasi akan redundan (pengulangan)," kata Ahmad kepada wartawan, Jakarta, Selasa, 14 Januari 2024.
Ahmad menilai sistem omnibus law juga bisa mengefisienkan biaya maupun proses pembuatannya. Dia menyebut Komisi II DPR masih mengkaji putusan MK itu untuk menemukan model yang tepat.
"Kalau mengenai substansi presidential threshold kita masih kaji dan dalami berbagai opsi pengaturannya (constitutional engineering) untuk menemukan model yang kompatibel dan konstitusional dengan rancang bangun pemilu dan pemerintahan kita ke depan," kata dia.
Dia menuturkan putusan MK itu memberikan efek pada syarat-syarat lainnya. Salah satunya soal proses pengajuan calon.
"Presidential threshold hanya satu di antara banyak hal yang harus kita perbaiki. Meskipun hanya sebatas syarat pencalonan, dari putusan MK tersebut akan terkait banyak hal. Seperti syarat kepesertaan pemilu, proses pengajuan pasangan calon, stabilitas dan efektifitas pemerintahan, lembaga legislatif, design second round-nya seperti apa, dan seterusnya," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Adies Kadir menanggapi keputusan MK yang menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen. Adies menyebut keputusan MK itu final dan mengikat.
"Ya kita di DPR tentunya kan melaksanakan putusan dari Mahkamah Konstitusi putusan ini kan final and binding. Artinya kan, semua warga negara Indonesia yang taat hukum itu harus menaati. Cuma, di dalam situ kan jelas disampaikan ada beberapa pertimbangan di dalam putusan," kata Adies di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 13 Januari 2025.
Adies mengatakan calon presiden berdasarkan undang-undang tak boleh dari pihak independen, artinya harus ada partai politik (parpol) yang mengusung. Adies juga menyoroti adanya pengaturan batasan pencalonan Presiden ke depan.
"Kemudian yang poin 4 itu ada kalau tidak salah disampaikan juga pertimbangan hakim jangan terlalu sedikit dan juga jangan terlalu banyak. Kemudian, terakhir pemerintah dan pembuat UU, meminta pada pembuat UU dalam hal ini DPR dan pemerintah untuk membuat rekayasa konstitusi atau disebut mereka konstitusional engineering," katanya.
Adies juga menanggapi peluang pembahasan UU kepemiluan dengan sistem omnibus law atau disatukan dengan UU yang berkaitan. Menurut Adies, hal itu memungkinkan.
"Ya itu nanti akan dibahas, semua mungkin, semua mungkin. Karena ini kan menyangkut dengan pemilu legislatif, pilkada, dan juga pilpres. Nanti seperti apa akan dibuat rekayasa-rekayasa konstitusional, kita serahkan dari Komisi II dan para stakeholder terkait," katanya.