Demi Penerapan B40, Kemendag Perketat Ekspor Limbah Sawit
SinPo.id - Kementerian Perdagangan (Kemendag) memperketat ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO). Hal ini untuk mendukung implementasi penerapan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen (B40).
"Menindaklanjuti arahan Presiden, kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan bakuminyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40," kata Mendag RI Budi Santoso dalam keterangannya, Jumat, 10 Januari 2025.
Budi menjelaskan, kebijakan pengetatan ekspor tersebut, diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit,yang berlaku pada 8 Januari 2025.
Kebijakan ini, sambung Budi, ditempuh untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng dalam pelaksanaan program minyak goreng rakyat.
"Tentu akan ada dampak dari kebijakan ini. Namun, sekali lagi kami tegaskan, kepentingan industri dalam negeri adalah yang paling utama," kata Budi.
Budi merincikan, Permendag 2/2025 mengatur mengenai Kebijakan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit residu, yaitu POME dan HAPOR, dan UCO, termasuk syarat untuk mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE).
Kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit berupa UCO dan Residu, dibahas dan disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan pemerintah di bidang pangan.
Selain itu, pembahasan pada rapat koordinasi termasuk ada dan tidaknya alokasi ekspor yang menjadi persyaratan untuk mendapat persetujuan ekspor.
"Namun demkian, bagi para eksportir yang telah mendapatkan PE Residu dan PE UCO yang telah diterbitkan berdasarkan Permendag Nomor 26 Tahun 2024, tetap dapat melaksanakan ekspor. PE-nya masih tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir," ujar Budi.
Menurut Budi, selama ini ekspor limbah pabrik kelapa sawit tercatat melebihi kapasitas. Pada Januari–Oktober 2024, ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton. Volume ekspornya lebih besar daripada ekspor CPO pada periode yang sama yang hanya sebesar 2,70 ton.
Sementara itu, pada 2023, ekspor POME dan HAPOR mencapai 4,87 juta ton. Volumenya juga jauh lebih besar daripada ekspor CPO pada periode yang sama yaitu sebesar 3,60 juta ton.
Ekspor POME dan HAPOR pada lima tahun terakhir (2019—2023) tumbuh sebesar 20,74 persen, sementara volume ekspor CPO turun rata-rata sebesar 19,54 persen pada periode yang sama.
Berdasarkan data itu, menurut Budi, ekspor POME dan HAPOR tercatat jauh melebihi kapasitas wajar yang seharusnya hanya sekitar 300 ribu ton. Hal ini menjustifikasi bahwa POME dan HAPOR yang diekspor bukan murni dari residu atau sisa hasil olahan CPO saja, tetapi juga pencampuran CPO dengan POME atau HAPOR asli.
Budi memperkirakan, volume ekspor ini dapat terus meningkat di masa mendatang. "Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan mengkhawatirkan bagi ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri di dalam negeri," kata Budi.
Selain itu, peningkatan ekspor POME dan HAPOR juga dapat diakibatkan oleh pengolahan buah dari Tandan Buah Segar (TBS) yang dibusukkan langsung menjadi POME dan HAPOR.
"Kondisi tersebut mengarah pada banyaknya TBS yang dialihkan untuk diolah oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS)atau dikenal sebagai PKS berondolan. Hal tersebut mengakibatkan PKS konvensional kesulitan mendapatkan TBS," tukasnya.