KENAIKAN PPN 12 PERSEN

Haris Rusly Moti Yakin Pemerintahan Prabowo Sangat Hati-Hati Menerapkan PPN 12 Persen

Laporan: Tim Redaksi
Kamis, 26 Desember 2024 | 18:16 WIB
Aktivis gerakan mahasiswa 1998 Haris Rusly Moti (SinPo.id/ Istimewa)
Aktivis gerakan mahasiswa 1998 Haris Rusly Moti (SinPo.id/ Istimewa)

SinPo.id - Aktivis gerakan mahasiswa 1998 Haris Rusly Moti yakin dalam penerapan kenaikan PPN 12 persen, pemerintahan Prabowo sangat penuh kehati-hatian. Diakuinya, kenaikan PPN ini tidak dapat diterima oleh seluruh rakyat dan dunia usaha seutuhnya.

"Paling tidak, kita berharap rakyat dan dunia usaha dapat memahami situasi sulit yang melahirkan kebijakan sulit yang mesti ditempuh oleh pemerintahan Prabowo dalam menerapkan PPN 12 persen," kata Haris dalam keterangannya, Kamis, 26 Desember 2024.

Terlebih, lanjutnya, sesuai masukan dari pimpinan DPR-RI Sufmi Dasco Ahmad, agar kebijakan penerapan PPN 12 persen jangan sampai makin memperlemah ekonomi dan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Karena itu, penerapan PPN 12 persen diutamakan untuk komponen pajak barang mewah.

“Saya yakin pemerintahan Prabowo sangat hati-hati dalam membuat kategorisasi terkait komponen barang mewah yang dikenakan PPN 12 persen. Sehingga daya beli ekonomi rakyat tidak terganggu," kata dia.

Hariay menyebut, Pemerintahan Prabowo tidak anti kritik. Menurut dia, pemerintahan Prabowo terbuka terhadap pandangan dan masukan dari berbagai unsur masyarakat sipil terkait penerapan PPN 12 persen.

"Saya yakin kritik dan masukan dari unsur ormas kemasyarakatan agama seperti MUI, KWI, PGI, Pengusaha, serta para intelektual dan ekonom terkait penerapan PPN 12 persen pasti dipertimbangkan oleh pemerintahan Prabowo," ucapnya.

Menurut Haris, setiap kritik dan masukan merupakan suplemen yang justru memperkuat pelaksanaan dari kebijakan PPN 12 persen. Sehingga makin berpihak pada kepentingan rakyat.

“Saya yakin Presiden Prabowo pasti mendengar dan membaca aspirasi yang berkembang untuk menyempurnakan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat," katanya.

Haris juga menyoroti sikap PDIP yang tidak konsisten dalam kenaikan PPN 12 persen. Menurutnya, justru PDIP yang menjadi inisiator, hingga PPN harus naik menjadi 12 persen.

"Pandangan kritis kami terhadap karakter politik 'esuk dele sore tempe' (berubah-ubah ) yang dipertontonkan PDIP tak menunjukan kami anti kritik. Ibarat kata, 'benihnya kau yang tanam, anak nya tidak mau kau akuin, bahkan kau tolak dan nistakan'," tegasnya. 

Indonesia, sambungnya, kini memang menghadapi situasi geopolitik 'saling kunci' antara negara negara blok barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Uni Eropa versus China dan Rusia. Hal ini berdampak ambruknya konsensus pasar bebas yang telah sekian lama jadi mekanisme perdagangan global.

"Free trade atau pasar bebas maupun free investment berubah menjadi Friendshoring. Peradangan pasar bebas berubah jadi perdagangan antar sesama negara se-blok atau se-sekutu atau se-poros geopolitik," kata dia.

Situasi saling kunci geopolitik tersebut yang membuat ekonomi global diramal suram di 2025. Bahkan Presiden RI ke-enam Susilo Bambang Yudhoyono menyebut situasi global tersebut komplex dan complicated, atau rumit dan ruwet.

"Di dalam negeri, siapa pun pemerintahan yang berkuasa pasti menghadapi kebijakan sulit dengan ruang pilihan kebijakan yang terbatas. Kadang pemerintah harus menempuh kebijakan tidak populer untuk memitigasi agar situasi geopolitik yang rumit dan ruwet tersebut tidak berdampak buruk terhadap ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat," paparnya.

Terkait kebijakan PPN 12 persen sendiri, memang bukan kebijakan yang diproduksi di era pemerintahan Prabowo. Namun, pemerintahan Prabowo tidak cuci tangan dan tetap bertanggungjawab.

"Saya kira bukanlah karakter Presiden Prabowo untuk menyalahkan masa lalu setiap menghadapi masalah dan tantangan," kata Haris.

Lebih jauh Haris berharap perbedaan pandangan terkait penerapan PPN 12 persen tersebut melunturkan semangat persatuan dan kebersamaan dalam membangun ekonomi nasional.

"Saya berharap kita sama sama menjaga agar bangsa kita dijauhkan dari dampak negatif, baik ekonomi maupun politik, akibat pertikaian geopolitik yang diperkirakan memanas di tahun 2025," tukasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI