Implikasi Kenaikan PPN terhadap Perekonomian

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 22 November 2024 | 07:00 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)

Tarif PPN yang hendak ditetapkan 12 persen itu tertinggi di Asia Tenggara, melemahkan daya beli masyarakat dan menyebabkan inflasi. Ada sektor lain seperti penerapan pajak karbon yang seharusnya diterapkan serta belum tergarap pemasukan pajak tambang akibat penambangan ilegal.

SinPo.id -  Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu 13 November 2024 lalu, menyampaikan rencana menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen  mulai 1 Januari 2025.  Salah satu alasan rencana kenaikan mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

"Jadi kami di sini sudah membahas bersama bapak ibu sekalian (DPR), sudah ada UU-nya, kita perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga tetap bisa," kata Sri Mulyani.

Ia menjelaskan, penerapan PPN 12 persen mulai tahun depan itu sudah melalui pembahasan yang panjang dengan DPR RI. Semua indikator sudah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, salah satunya terkait kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Sehingga kita tetap bisa. Bukan membabi buta, APBN harus dijaga kesehatanya dan berfungsi merespon saat global finance crisis,” ujar Sri menjelaskan.

Menurut Sri kenaikan PPN yang hendak diberlakukan tahun depan itu untuk mengerek penerimaan negara.  Tercatat pungutan pajak penambahan nilai dan penjualan barang mewah sebanyak 11 persen yang berlaku tahun ini, hingga Oktober 2024 sebanyak Rp620,42 triliun atau 76 persen. Sedangkan jika naik 12 persen  pada tahun 2025 nanti, diperkirakan akan menambah pemasukan negara hingga Rp945,1 triliun.

Rencana itu langsung ditanggapi Sekretaris Jenderal Serikat Usaha Muhammadiyah (SUM) Ghufron Mustaqim yang menyarankan agar kebijakan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen dibatalkan. Ghufron mengatakan saat ini banyak usaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sedang berjuang untuk bertahan di tengah turunnya daya beli.

"Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah peningkatan angka pengangguran," kata Ghufron.

Ghufron mengacu rilis Bursa Efek Indonesia (BEI) tentang daftar perusahaan LQ45, rasio keuntungan bersih (net profit) dengan pendapatan (revenue), hanya kisaran 11 persen. Kondisi itu tak jauh berbeda dengan besaran tarif PPN yang bakal dikenakan.

Menurut Ghufron, tarif PPN yang lebih rendah akan dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat. Sebab harga-harga produk bisa menjadi  kompetitif, dampak luasnya bisa membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.

Ia mengingatkan, jika tarif PPN 12 persen di berlaku, maka menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara. “Dan, tarif pajak sebesar itu semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk UMKM,” ujar Ghufron menjelaskan.

Sedangkan perbandingan PPN di Malaysia yang hanya 6 persen, Singapura dan Thailand sebesar 7 persen, serta Vietnam, Kamboja, dan Laos, PPN nya sebesar 10 persen.

"Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," katanya.

Tanggapan yang sama juga disampaikan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), yang menilai rencana menaikkan PPN sebesar 12 persen akan berdampak kepada kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan.

"Kenaikan PPN 12 persen berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa secara keseluruhan," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) BPP HIPMI, Anggawira.

Hal itu, kata Anggawira, kenaikan PPN berpengaruh langsung kepada daya beli masyarakat, khususnya kepada masyarakat kelas menengah bawah. Sehingga kenaikan ini, tentunya akan berdampak kepada kebutuhan sehari-hari masyarakat kecil.

"Ini juga akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, yang akan merasakan beban tambahan untuk kebutuhan sehari-hari,"  ujar Anggawira menjelaskan.

Kenaikan PPN itu juga berdampak inflasi, dalam jangka pendek, seperti melonjaknya kenaikan harga bahan-bahan pokok masyarakat. Selain itu, kenaikan PPN 12 persen, akan mempersulit masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Drektur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, tegas mnegatakan kenaikan tarif PPN 12 persen pada tahun 2025 wajib dibatalkan. Ia menyebut sejumlah alasan agar keputusan menteri keuangan itu dibatalkan. Salah satunya pemerintah masih memiliki peluang pendapatan, seperti pendapatan dari pajak karbon.

"Pajak karbon harusnya tahun 2022 dilaksanakan, namun sampai saat ini tidak diimplementasikan," kata Huda.

Alasan lain keniakan PPN itu menimbulkan beban terlalu berat dari pelemahan daya beli masyarakat. Huda menyebut  pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen dari tahun tahun ke (yoy).

Sedangkan secara q-to-q, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Huda mengutip data Bank Rakyat Indonesia  (BRI) yang menunjukkan Indonesia mengalami deflasi 5 bulan secara berturut-turut antara Mei hingga September.  Sedangkan Pelaku UMKM mengaku turun omzetnya hingga 60 persen.

Kenaikan PPN sebagai kebijakan pemerintah yang memang butuh uang untuk menambal defisit anggaran yang melebar. Namun Huda menilai  ada pos penerimaan lain yang belum tergarap yaitu penerimaan negara sektor tambang yang masih banyak ilegal.

"Hasyim pernah menyampaikan ada Rp300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN,"  kata Huda menjelaskan.

Sedangkan tarif PPN Indonesia saat ini sebesar 11 persen masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD.  Tercatat tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen.

Menunggu Presiden Kembali ke Tanah Air

Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, mengatakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan masih merupakan wacana. Sehingga penetapan kebijakan tersebut masih menunggu keputusan dari Presiden RI Prabowo Subianto.

"PPN ini kan masih wacana, masih usulan, tentunya kan itu masih dibahas pasti menunggu Pak Presiden kembali, jadi kita tunggu saja Pak Presiden kembali," kata Adies.

Dengan kepastian kehadiran presiden itu, Adies mengingatkan publik agar jangan berandai-andai, sedangkan ia menilai usulan keniakan PPN oleh Menteri Keuangan ke Presiden pasti ada dasarnya.

"Pasti menteri keuangan pun kalau mengusulkan ke Pak Presiden ada dasar-dasarnya. Kita lihat (nanti), yang pasti kan Pak Presiden dalam menjalankan pemerintah selama lima tahun, intinya kan selalu tidak akan menyusahkan rakyatnya, gitu kan," ujar Adies menjelaskan.

Ia menilai, Prabowo sebagai presiden tidak akan membuat kebijakan yang akan menyulitkan rakyat.

Namun anggota Komisi VII DPR RI, Hendry Munief, meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN karena dinilai berdampak negatif terhadap pelaku UMKM. Menurut Hendry, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan pajak, terutama ketika semua pihak tengah berupaya memulihkan ekonomi nasional. Sehingga harus dipertimbangkan demi menjaga stabilitas ekonomi Indonesia pada tahun 2025.

"Pasca Covid-19, ekonomi kita belum sepenuhnya pulih. Hal ini terbukti dari pendapatan pajak tahun 2024 yang tidak mencapai target," kata Hendry.

Menurut Hendry, jika PPN dinaikkan pada tahun 2025, bukan hanya ekonomi yang tidak bertumbuh,. “Tetapi juga bisa menghambat Indonesia dalam upayanya menjadi negara maju,"  ujar Hendry menambahkan.

Ia menyebut UMKM memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia dengan kontribusi mencapai 99 persen dari keseluruhan unit usaha. Bahkan pada tahun 2023, kontribusi UMKM terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 61 persen, atau setara Rp 9.580 triliun.

"Yang pertama merasakan dampak kenaikan pajak ini adalah sektor UMKM, baik yang mandiri maupun yang berfungsi sebagai mitra atau pendukung industri besar.,” katanya.. (*)

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI