Ekonom: Kepailitan Sritex Puncak Cerminan Masalah Industri Garmen di Indonesia

Laporan: Tio Pirnando
Minggu, 27 Oktober 2024 | 14:16 WIB
Ilustrasi sejumlah pekerja sedang menyelesaikan pembuatan kaos di gudang konveksi. (SinPo.id/Ashar)
Ilustrasi sejumlah pekerja sedang menyelesaikan pembuatan kaos di gudang konveksi. (SinPo.id/Ashar)

SinPo.id - Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dengan utang mencapai Rp24 triliun, merupakan puncak cerminan dari masalah industri garmen di Indonesia.

Padahal, Sritex adalah salah satu ikon kebanggaan industri tekstil nasional yang tak hanya beroperasi di pasar domestik, tetapi juga pasar global.

"Dengan beban utang yang besar, ketergantungan pada permintaan global, serta tekanan dari kenaikan upah minimum, Sritex akhirnya tidak mampu lagi bertahan. Dalam konteks ini, situasi yang dialami Sritex bukan hanya masalah internal perusahaan, tetapi cerminan dari kesulitan yang dihadapi oleh industri garmen secara keseluruhan di Indonesia," kata Achmad dalam keterangannya, Minggu, 27 Oktober 2024.

Achmad mengigatkan dampak langsung dari kepailitan ini adalah ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 20.000 pekerja Sritex, serta efek domino yang bisa mengguncang seluruh sektor industri garmen di Indonesia.

Achmad menilai, PHK massal di industri tekstil ini dapat memperburuk kesenjangan gender di dunia kerja. Sebab, mayoritas pekerja di sektor garmen adalah perempuan. Hal ini dapat memicu potensi krisis sosial.

"Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial," ucapnya.

Karena itu, Ia meminta pemerintah harus menghadapi persoalan ini dengan serius. Mengingat, industri tekstil adalah salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak di Indonesia.

"Pemerintah perlu melakukan pendekatan yang lebih menyeluruh untuk merumuskan langkah penyelamatan industri tekstil agar dapat mengambil langkah yang tepat dan bersifat jangka panjang," ujar Achmad.

Lebih lanjut, Achmad menyarankan pemerintah Prabowo mengeluarkan paket bantuan khusus untuk pekerja yang terkena dampak PHK, sebagai dukungan yang memadai.

Program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau subsidi bagi keluarga yang kehilangan penghasilan, harus segera disalurkan untuk mencegah terjadinya krisis sosial yang lebih luas.

Selain itu, program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) harus diperluas agar para pekerja dapat mengakses peluang pekerjaan di sektor lain.

Misalnya, pekerja garmen yang memiliki keterampilan menjahit atau produksi tekstil dapat dilatih untuk beralih ke industri lain yang sedang berkembang, seperti industri kreatif atau teknologi.

Bagi Achmad, krisis di Sritex menunjukkan betapa rentannya industri tekstil terhadap tekanan keuangan. Karena itu, pemerintah perlu berkoordinasi dengan bank-bank dan lembaga keuangan untuk memberikan skema restrukturisasi utang yang lebih fleksibel bagi perusahaan tekstil yang mengalami kesulitan.

"Pendekatan ini diperlukan untuk mencegah lebih banyak perusahaan tekstil yang terjerumus dalam kebangkrutan. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif pajak dan subsidi energi bagi perusahaan tekstil untuk membantu mereka menurunkan biaya produksi," ucapnya.

Menurut Achmad, industri garmen sangat padat karya, sehingga biaya produksi yang lebih rendah akan membantu perusahaan-perusahaan ini bertahan dan tetap kompetitif di pasar global.

Langkah lainnya, pemerintah harus mendorong konsolidasi di sektor ini, dengan memfasilitasi kolaborasi antara perusahaan-perusahaan besar dan kecil. Sebab, industri tekstil Indonesia saat ini cenderung terfragmentasi, dengan banyaknya perusahaan kecil hingga menengah yang beroperasi secara independen.

"Dengan konsolidasi, industri tekstil dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi, dan meningkatkan daya saing global. Pemerintah juga dapat membentuk klaster industri tekstil yang terintegrasi, di mana perusahaan-perusahaan tekstil dapat beroperasi secara bersama-sama dalam satu ekosistem, dengan akses yang lebih mudah ke infrastruktur, bahan baku, dan teknologi produksi terbaru," ungkapnya.

Disisi lain, Achmad menganggap, selama ini, industri garmen Indonesia sangat bergantung pada pasar ekspor. Ketergantungan ini membuat industri rentan terhadap fluktuasi permintaan global dan ketidakpastian ekonomi internasional.

"Untuk itu, Prabowo perlu mendorong penguatan pasar domestik sebagai salah satu strategi untuk menjaga stabilitas industri tekstil. Program seperti kampanye 'Bangga Buatan Indonesia' harus terus diperkuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mendukung produk lokal," tuturnya.

Selain itu, pemerintah harus mendorong sektor retail dan fashion domestik untuk lebih mengutamakan penggunaan produk tekstil dalam negeri, yang pada gilirannya akan mendukung industri tekstil nasional.

Langkah lain, Prabowo harus memfasilitasi investasi dalam teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, seperti penggunaan mesin otomatisasi, material ramah lingkungan, serta teknologi penghematan energi. Karena, di era persaingan global saat ini, industri tekstil Indonesia harus bertransformasi dengan mengadopsi teknologi dan inovasi.

"Pemerintah juga perlu mendukung riset dan pengembangan (R&D) di sektor tekstil, dengan menyediakan insentif bagi perusahaan yang berinovasi dalam menciptakan produk tekstil yang bernilai tambah tinggi. Seperti kain berbahan organik atau tekstil teknologi tinggi untuk keperluan medis dan olahraga," kata dia.

Tak lupa, Achmad kembali mengingatkan bahwa fadai PHK di sektor garmen, terutama dengan kepailitan Sritex, adalah sebuah krisis yang tidak bisa dianggap remeh. Dampaknya tak hanya akan dirasakan oleh para pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga akan mengguncang industri tekstil secara keseluruhan.

Padahal, industri ini memiliki potensi besar untuk tetap menjadi salah satu pilar penting ekonomi nasional, namun membutuhkan intervensi yang cepat dan tepat dari pemerintah untuk dapat bertahan dan berkembang di masa depan.

"Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, memiliki tanggung jawab besar untuk menavigasi Indonesia melalui krisis ini. Dengan langkah-langkah yang tepat, seperti memberikan bantuan sosial dan pelatihan ulang bagi pekerja, mendukung restrukturisasi utang perusahaan tekstil, mendorong konsolidasi industri, memperkuat pasar domestik, serta memfasilitasi adopsi teknologi dan inovasi, Prabowo dapat membantu industri tekstil Indonesia bangkit kembali," tukasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI