PBB: Jumlah Perempuan yang Terbunuh dalam Konflik Meningkat dari Tahun Lalu
SinPo.id - PBB melaporkan proporsi perempuan yang terbunuh dalam konflik di seluruh dunia meningkat dua kali lipat dari tahun lalu. Menurut catatan, 40 persen dari korban tewas di zona perang merupakan perempuan.
UN Women, yang melihat situasi keamanan bagi perempuan dan anak perempuan di zona perang mengatakan, kasus kekerasan seksual terkait konflik yang diverifikasi PBB juga meningkat sebesar 50 persen pada tahun 2023 dibandingkan dengan tahun 2022.
Tercatat sekitar 13.377 dari 33.443 warga sipil yang terbunuh dalam konflik adalah perempuan. Jumlah tersebut setara dengan empat banding 10. Sementara tiga dari 10 korban adalah anak-anak.
“Perempuan terus menanggung akibat dari perang yang dilakukan laki-laki,” kata direktur eksekutif UN Women, Sima Bahous. Dilansir dari The Guardian, Minggu, 27 Oktober 2024.
“Hal ini terjadi dalam konteks perang yang lebih besar terhadap perempuan. Penargetan hak-hak perempuan yang disengaja tidak hanya terjadi di negara-negara yang dilanda konflik, tetapi bahkan lebih mematikan di lingkungan tersebut," lanjutnya.
Menurutnya, pengabaian terhadap hukum internasional yang dirancang untuk melindungi perempuan dan anak-anak selama perang menyebabkan perempuan tidak dapat mengakses layanan kesehatan di zona konflik.
Sehingga setiap harinya, 500 perempuan dan anak perempuan di negara-negara yang dilanda konflik meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Bahkan pada akhir tahun lalu, sekitar 180 perempuan melahirkan setiap hari di Gaza tanpa perawatan medis.
Sementara di Sudan, tempat terjadinya laporan kekerasan seksual yang tersebar luas, badan PBB mengatakan sebagian besar korban tidak dapat mengakses perawatan medis dalam 72 jam pertama setelah diperkosa, termasuk kontrasepsi darurat.
Ironisnya, laporan tersebut muncul 24 tahun setelah diadopsinya resolusi Dewan Keamanan PBB 1325, yang menyerukan kepada semua pihak yang berkonflik untuk memastikan keselamatan perempuan dan anak perempuan.
“Kita menyaksikan kesetaraan gender dijadikan senjata di banyak bidang. Jika kita tidak bangkit dan menuntut perubahan, konsekuensinya akan terasa selama beberapa dekade, dan perdamaian akan tetap sulit diraih," kata Bahous.