Rencana Memantau Komunikasi Civitas Akademika, Reni Marlinawati: Ini Ide yang Keliru!
Jakarta, sinpo.id - Reni Marlinawati selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menanggapi rencana Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristek Dikti) untuk memantau komunikasi civitas akademika di perguruan tinggi dalam rangka menangkal faham radikal, merupakan ide yang keliru dan serampangan.
“Ide ini akan menabrak Hak Asasi Manusia (HAM). Alih-alih rencana ini akan menangkal radikalisme, justru sebaliknya berpotensi memproduksi radikalis-radikalis baru,” cetus Reni kepada sinpo.id melalui keterangan tertulisnya, Kamis (7/6/2018).
Lebih lanjut, Kemenristek Dikti seharusnya fokus pada upaya pencegahan dan penangkalan faham radikal berkembang di lingkungan perguruan tinggi. Pembentukan sistem pencegahan masuknya faham radikal ke perguruan tinggi jauh lebih efektif dan berkelanjutan (suistainable). Sistem ini harus komprehensif dari hulu hingga hilir.
“Salah satu yang mendasar untuk dilakukan adalah melakukan audit secara berkala dan berjenjang atas bahan ajar termasuk satuan acara pembelajaran (SAP) yang berada di lingkungan perguruan tinggi. Langkah mendasar ini penting untuk memastikan setiap materi yang disampaikan di lingkungan perguruan tinggi steril dari paham radikal,” tuturnya.
Reni meminta agar proses rekrutmen tenaga pengajar dan mahasiswa dapat diperbaiki. Rekrutmen tenaga pengajar, baik di PTN maupun di PTS harus memastikan tenaga pengajar selain cakap dari sisi keilmuwan, namun juga harus dipastikan steril dari paham kontra-NKRI.
Tuntutan standar kualifikasi tenaga pengajar seperti dosen ber-Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) yang ditentukan Ristek Dikti jangan sampai mengabaikan prinsip-prinsip tersebut. Pun sebaliknya, pihak Ristek Dikti dalam pemberian NIDN terhadap dosen jangan hanya sekadar berpijak pada syarat formil-administratif, lebih dari itu, penelusuran jejak rekam calon dosen ber-NIDN harus jelas dan terang.
“Rekrutmen calon mahasiswa baru baik di PTN dan PTS juga tidak semata-mata hanya berpijak pada nilai akhir saat di SLTA. Namun sebaliknya, syarat substansial-elementer terkait nilai kebangsaan dan ke-Indonesiaan harus ditempatkan di nomor pertama untuk kualifikasi lolos tidaknya calon mahasiswa,” lanjutnya.
Reni meminta agar segera dilakukannya penataan lembaga-lembaga kemahasiswaan di lingkungan PT seperti Badan Eksekutif Mahassiwa (BEM) termasuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diarahkan pengembangan intelektualitas mahasiswa.
Bukan sebaliknya, UKM justru dijadikan persemaian faham radikal di lingkungan PT. Pihak rektorat, dekanat hingga unit terkecil pimpinan program studi harus melakukan interaksi yang partisipatif dengan mahasiswa. Pengelola PT jangan terjebak kegiatan rutin yang akhirnya mengabaikan kondisi obyektif di mahasiswa.
“Mempertimbangkan kembali masuknya organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, IMM, GMNI, PMKRI, GMKI dan lain-lain untuk dikembalikan kembali ke dalam lingkungan perguruan tinggi dengan batasan-batasan yang tidak meninggalkan entitas sebagai organ ekstra kampus. Pelibatan organ ekstra kampus dalam kegiatan di intra kampus penting untuk memastikan dialektika di internal mahasiswa berjalan dinamis dan sehat,” ungkapnya.
Dirinya juga mendesak Kementerian/Lembaga seperti Kemenristek Dikti dan Kemenpora agar tidak terjebak dengan program seremonial yang jauh dari substansi penguatan pemahaman kebangsaan yang holistik di lingkungan mahasiswa.
“Kita masih ingat, pada tahun lalu, Ristek Dikti bersama pimpinan PT dan mahasiswa se-Indonesia deklrasi lawan radikalisme, justru belakangan paham radikal justru bersemai di lingkungan PT. Saatnya tinggalkan program-program yang berorientasi seremoni, dan fokus pembentukan sistem yang ajeg dan berkelanjutan,” tandasnya.

