Komnas HAM Sodorkan Rekomendasi Agenda HAM untuk Pemerintahan Prabowo

Laporan: Tio Pirnando
Rabu, 23 Oktober 2024 | 14:36 WIB
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro. (SinPo.id/dok. Komnas HAM)
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro. (SinPo.id/dok. Komnas HAM)

SinPo.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyodorkan sejumlah rekomendasi agenda HAM untuk diselesaikan pemerintahan Prabowo-Gibran dalam lima tahun mendatang. Diantaranya penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua, pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat dan pembangunan Ibukota Kota Nusantara (IKN) dengan prinsip HAM.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro berharap, perubahan struktur dan nomenklatur, termasuk dibentuknya Kementerian Koordinator khusus  bidang Hukum dan HAM, serta Kementerian HAM, akan memperkuat agenda kebijakan serta program pembangunan yang mengarusutamakan HAM.

"Komnas HAM mendorong agar pengarus utamaan HAM tidak hanya menjadi isu sektoral di bawah beberapa Kementerian di bawah Kementerian Koordinator Hukum dan HAM, tetapi mengarusutamakan di seluruh pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian/lembaga lainnya," kata Atnike dalam keterangannya, Rabu, 23 Oktober 2024. 

Menurut Atnik, ini penting untuk mewujudkan tanggung jawab negara baik dalam pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM, yang tak hanya di sektor hukum, tapi juga sektor keamanan, ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.

Komnas HAM juga berharap bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan melanjutkan dan memperkuat agenda HAM di berbagai aspek pembangunan dan tata kelola pemerintahan selamalima tahun ke depan. 

"Komnas HAM akan senantiasa menjalankan tugasnya selaku Lembaga HAM Nasional, untuk mendorong pemajuan HAM melalui rekomendasi atas isu HAM yang dihadapi oleh Indonesia yang memerlukan perhatian pemerintah, dan senantiasa mendorong penegakan HAM terhadap persoalan-persoalan HAM yang terjadi di dalam masyarakat," kata Atnik. 

Adapun rincian rekomendasi Komnas HAM untuk diselesaikan pemerintahan Prabowo-Gibran, seperti penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua. Ini agenda ini penting untuk segera diselesaikan oleh pemerintah. 

Komnas HAM menilai kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua telah berjalan lebih dari 20 tahun, namun konflik dan kekerasan masih rentan terjadi di sana. 

Konflik dan kekerasan telah mengakibatkan korban jiwa baik di kalangan warga sipil, Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) maupun aparat.

Kondisi ini menyebabkan kerentanan sosial yang menghambat penikmatan dan perlindungan HAM seperti penegakan hukum yang sulit terhadap pelaku kekerasan, terjadinya pengungsi internal dan akses terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan lainnya terhambat.

Dengan pembentukan empat provinsi baru yang sedang berjalan, kata Atnik, pemerintah harus mendorong dan mendukung Pemda di seluruh provinsi di Papua untuk secara efektif memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan HAM bagi masyarakat, termasuk ketika masyarakat menghadapi situasi konflik dan kekerasan.

"Bersamaan dengan itu, pemerintah juga perlu terus mendorong pendekatan keamanan yang terukur dan penegakan hukum yang akan membangun kepercayaan publik dan mendorong penghentian konflik," ucap dia.

Rekomendasi lainnya, Komnas HAM menyarankan pemerintah mengembangkan upaya-upaya pencegahan atas pengalaman di masa lalu berkaitan dengan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Selain itu, penting juga pemerintah melanjutkan program pemulihan dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM yang berat secara lebih komprehensif dan berkelanjutan.

Atnik mendorong agar pemerintahan Prabowo-Gibran dapat memfasilitasi upaya-upaya untuk memberikan kepastian terhadap status dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Termasuk salah satu kasus yaitu kasus Paniai yang saat ini sedang terhenti proses persidangan kasasinya karena belum terpilihnya hakim ad hoc kasasi," ucap Atnike.

Kemudian proyek IKN harus sejalan prinsip HAM. Kajian Komnas HAM menemukan sejumlah masalah dalam perencanaan dan pembangunan IKN, mulai dari partisipasi yang kurang maupun mekanisme pengaduan dan pemulihan bagi masyarakat yang belum tersedia.

Dalam proses pembangunan IKN yang sedang berjalan, beberapa peristiwa pelanggaran seperti kekerasan terhadap warga maupun akses masyarakat terhadap hak-hak kesejahteraan yang hilang telah terjadi dan dilaporkan kepada Komnas HAM.

Komnas HAM menilai risiko terjadinya pelanggaran HAM dalam proses pembangunan IKN harus diantisipasi.

"Oleh sebab itu, perlu mendorong adanya mekanisme pengawasan pelaksanaan yang efektif untuk memitigasi maupun membentuk mekanisme pemulihan atas risiko maupun dampak dari pembangunan IKN terhadap HAM," kata Atnik. 

Selanjutnya, penting juga penegakan prinsip HAM dalam bisnis dan pembangunan. Atnik menyampaikan, dalam lima tahun terakhir,  korporasi berada di urutan kedua sebagai aktor yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM.

Kasus-kasus yang melibatkan korporasi terjadi dalam beberapa isu dominan seperti sengketa lahan dan sumber daya alam, sengketa ketenagakerjaan, serta pencemaran atau kerusakan lingkungan.

"Guna mencegah pelanggaran HAM akibat praktik bisnis tersebut, maka diperlukan pemahaman serta komitmen dari sektor bisnis untuk menerapkan prinsip bisnis dan HAM," ucapnya. 

Ia juga mendorong pemerintah melakukan sejumlah langkah baik melanjutkan pelaksanaan Strategi Nasional Bisnis dan HAM serta memperkuat peraturan untuk mendorong penguatan tata kelola sektor bisnis, baik korporasi swasta maupun milik negara.

"Pemerintah juga perlu mengembangkan prosedur hukum serta tata kelola kelembagaan yang disediakan oleh pemerintah maupun sektor bisnis untuk memberikan akses bagi masyarakat dalam melaporkan dan mendapatkan pemulihan," ungkap Atnike.

Atnike mengatakan pemerintah daerah juga menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan ke Komnas HAM.

Kondisi ini menunjukkan kewajiban negara untuk melaksanakan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM belum diejawantahkan dengan efektif di tingkat daerah.

Untuk itu, terang Atnike, pemerintah perlu memperkuat prinsip-prinsip HAM menjadi arus utama dalam tata kelola Kota/Kabupaten di Indonesia melalui kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri, kesehatan, pendidikan, politik, hukum dan HAM serta kementerian terkait lainnya.

Termasuk di dalamnya untuk memastikan regulasi dan program pembangunan yang ramah HAM di tingkat daerah.

Berikutnya, penegakan HAM di tata kelola agraria hingga sumber daya alam (SDA). Pada periode Januari 2020 hingga Agustus 2024, Komnas HAM telah menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM terkait konflik agraria dan SDA  sebanyak 2.639 kasus.

Kasus-kasus tersebut terjadi karena tata kelola di hulu perencanaan dan pembuatan kebijakan pembangunan masih lemah serta masih terjadi pengabaian atas prinsip HAM dalam pelaksanaan pembangunan.\

Oleh sebab itu, Atnike meminta pemerintah menempatkan penyelesaian konflik agraria sebagai prioritas dalam agenda pemerintahan 2024-2029.

"Upaya ini perlu dilakukan secara komprehensif, baik dalam penguatan regulasi, pengawasan dalam tata kelola ASDL, maupun mekanisme penanganan sengketa yang dilakukan secara sinergis di antara K/L/D terkait, termasuk dengan sektor bisnis," ujar Atnike.

Komnas HAM juga memberi rekomendasi berkaitan dengan penegakan hukum sesuai dengan prinsip HAM yang dijalankan oleh kepolisian. Rentang tiga tahun terakhir, polisi menjadi aktor yang paling banyak diadukan kepada Komnas HAM.

Kasus-kasus yang melibatkan kepolisian mencakup kelambatan dalam memberikan layanan, kriminalisasi terhadap masyarakat, dan menghalangi proses hukum maupun kasus-kasus penyiksaan.

Pemerintah, pinta Atnik, harus terus mendorong penguatan profesionalisme kepolisian. Baik melalui pelatihan dan pengembangan kapasitas polisi, memaksimalkan fungsi pengawasan internal dan eksternal kepolisian, maupun memperkuat penegakan hukum terhadap personel kepolisian.

Rekomendasi lainnya, sebagai negara dengan jumlah pekerja migran yang besar, jaminan perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dinilai masih belum optimal. Jaminan perlindungan bagi PMI yang masih lemah, menimbulkan kerentanan seperti kekerasan, kondisi kerja tidak layak dan jaminan upah yang minim.

Dalam beberapa tahun terakhir, kerentanan tersebut juga muncul dalam kasus-kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Menurut Atnik, Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO belum optimal merespons persoalan yang dihadapi PMI. Akibat pencegahan dan penanganan TPPO yang tidak efektif, menyebabkan potensi pelanggaran HAM.

Karena itu, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Undang-undang TPPO dan fungsi serta peran Satgas/Gugus Tugas TPPO di tingkat pusat maupun daerah, alokasi anggaran serta kelengkapannya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI