Ekonom: Prabowo Harus Entaskan Pengangguran Terselebung Era Jokowi
SinPo.id - Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Prof Didik J Rachbini mengatakan, pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto, kini harus menghadapi banyaknya warisan masalah ekonomi dari rezim Joko Widodo. Mulai dari tingkat pengangguran, anjloknya kelas menengah, daya beli melemah hingga rendahnya setoran pajak.
"Pengangguran terselubung adalah masalah sangat berat yang harus dihadapi Prabowo. Saat ini, rata-rata penduduk hanya bekerja 20 jam selama 5 hari. Artinya, per hari-nya hanya bekerja 4 jam, bahkan kurang," kata Prof Didik saat dikonfirmasi SinPo.id, Senin, 21 Oktober 2024.
Namun, Prof Didik meyakini, Prabowo merupakan sosok independen yang tidak bisa dikendalikan, kecuali bertapa menurunkan ego dan tunduk selama lima tahun terakhir. Akan tetapi, semuanya adalah sebuah strategi.
Ketika sudah berkuasa, Prof Didik mengungkapkan, ada harapan baru bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Lebih lanjut, Rektor Universitas Paramadina itu memaparkan, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan temuan peneliti Universitas Indonesia (UI), yang menyatakan bahwa kelas menengah turun.
"Ini mengindikasikan banyak hal. Perekonomian Indonesia sangat bergantung konsumsi, sehingga jika pemerintah (Prabowo) tidak kerja maksimal, target delapan persen bakal sulit tercapai," kata Prof Didik.
Rektor Universitas Paramadina ini melanjutkan, menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah, berdampak kepada anjloknya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini juga akan mempersulit Presiden Prabowo mewujudkan janji pertumbuhan 8 persen.
Disisi lain, Prof Didik juga menganggap pertumbuhan ekonomi 5 persen dalam dua periode Presiden Jokowi, menunjukkan ekonomi tidak berkembang secara dinamis. Di mana, peluang kerja kurang, karena tidak ada leading sector selama lima tahun terakhir.
Tapi, ketika pertumbuhan ekonomi melemah, kurang dari 5 persen dengan alasan Covid-19, itulah menyebabkan Indonesia disalip negara tetangga, seperti Filipina dan Vietnam.
"Walaupun industri di kedua negara itu, lemah pada 2000-an. Berhasil bangkit dan mengalahkan Indonesia," bebernya.
Selanjutnya, Prof Didik juga membandingkan rasio pajak (tax ratio) era SBY yang mencapai 12 persen. Namun ambruk di era Jokowi menjadi sekitar 8-9 persen. Artinya, kondisi fiskal Indonesia sedang bermasalah.
Kemudian, berdasarkan riset Continuum, indeks konsumen penduduk Indonesia baik pendapatan maupun Ikon (indeks konsumen), juga menunjukkan adanya pelemahan.
"Lemah ini sama dengan mobil atau motor dengan kecepatan 80 tiba-tiba turun ke 20 itu memerlukan effort yang sangat keras," kata Prof Didik.
Untuk itu, Prof Didik menyarankan pemerintahan Prabowo meniru strategi pemerintah era 1980-an yang berhasil mendongkrak perekonomi ke level 7-8 persen. Pemerintah saat itu, menerapkan kebijakan industri yang outward looking, bersaing di level tinggi di tingkat internasional.
"Semua kebijakan ditujukan untuk memenangkan persaingan pasar di dalam dan luar negeri. Modalnya adalah industri yang kuat dan mampu bersaing dengan pertumbuhan 8-10 persen, serta investasi berkualitas dari dalam dan luar negeri," kata dia.