MK: Orang Tua Kandung Ambil Paksa Anak Bisa Dipidana

Laporan: Tio Pirnando
Kamis, 26 September 2024 | 23:37 WIB
Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. (SinPo.id/dok. MK)
Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. (SinPo.id/dok. MK)

SinPo.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dipidana. Karena, ketentuan ini telah tertuang dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Hal itu disampaikan Hakim MK Arief Hidayat saat membacakan sidang uji materi Pasal 330 Ayat (1) KUHP oleh lima ibu, yaitu Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak, mereka menguji frasa "barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP.

"Jika pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan, dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP," kata Hakim MK Arief Hidayat saat membacakan amar Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, 26 September 2024. 

Menurut para pemohon, berdasarkan pengalaman pribadi mereka, frasa "barang siapa" pada pasal dimaksud, berpotensi ditafsirkan bahwa ayah atau ibu kandung dari anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan menculik anak kandung sendiri.

Kelima pemohon merupakan ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan. Namun, mereka tidak lagi dapat bertemu dengan buah hatinya lantaran sang ayah diduga membawa kabur anak.

Ketika para pemohon melaporkan perbuatan mantan suami ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP, laporannya tidak diterima ataupun tidak menunjukkan perkembangan dengan alasan yang membawa kabur anak adalah ayah kandungnya sendiri.

Atas hal itu, para pemohon meminta kepada MK agar frasa "barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP diganti menjadi "setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak". 

Mahkamah lantas menjelaskan, frasa "barang siapa" dalam pasal diuji merupakan padanan kata dari bahasa Belanda "hij die" yang merujuk kepada siapa saja atau orang yang melakukan perbuatan diancam pidana. Artinya, frasa tersebut mengandung makna "setiap orang". 

"Dengan demikian, dalam konteks Pasal 330 ayat (1) KUHP, frasa 'barang siapa' dengan sendirinya juga telah mencakup ayah atau ibu kandung anak karena kata tersebut memang mengandung makna setiap orang," kata Arief.

Menurut MK, dalam menerapkan Pasal 330 ayat (1) KUHP, harus terdapat bukti bahwa kehendak untuk mengambil anak tanpa seizin orang tua pemegang hak asuh benar-benar datang dari pelaku, termasuk jika pelakunya adalah orang tua kandung anak.

"Seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak," kata Arief.

MK menilai, Pasal 330 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan yang telah diatur secara jelas dan tegas. Sebab itu, ketentuan dimaksud tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain.

Menurut MK, menambahkan pemaknaan baru terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk seperti yang dimohonkan para pemohon, justru akan memosisikan norma pasal menjadi berbeda sendiri atau anomali di antara semua norma dalam KUHP yang menggunakan frasa "barang siapa".

Oleh karena itu, MK menyatakan dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dengan demikian, MK menolak permohonan tersebut.

"Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

Namun, Hakim M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Guntur, Mahkamah seharusnya dapat mengabulkan sebagian permohonan para pemohon karena pada faktanya, norma Pasal 330 ayat (1) KUHP telah menimbulkan kegamangan penafsiran dari penegak hukum.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI