Jumlah Kelas Menengah di Indonesia Turun

Laporan: Tim Redaksi
Selasa, 10 September 2024 | 00:06 WIB
Kelas menengab
Kelas menengab

SinPo.id -  Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah kelas menengah turun ke 47,85 juta penduduk (17,13%) di tahun 2024 dari 57,33 juta penduduk (21,45%) di tahun 2019. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan “malign” deflation. Hal ini disampaikan Putu Rusta Adijaya, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Center (TII).

“Yang saya khawatirkan adalah akibat dari turunnya jumlah kelas menengah ini akan menimbulkan deflasi ke depan itu “malign” deflation, istilah deflasi karena penurunan dari sisi permintaan sebagai indikasi kemerosotan ekonomi. Misalnya, ketika masyarakat sudah tidak memiliki uang untuk berbelanja dan pengeluaran lainnya karena tidak ada pemasukan akibat PHK, sehingga jumlah uang beredar menjadi semakin sedikit. Ini jenis deflasi yang berbahaya,” katanya dalam keterangan resmi di Jakarta (9/9/2024).

“Data inflasi kita secara “month-to-month” kemarin itu negatif, artinya deflasi. Kata BPS, hal itu disebabkan oleh penurunan harga oleh meningkatnya sisi penawaran oleh naiknya produktivitas atau disebut juga “benign” deflation, yang masih lebih baik dibandingkan bentuk “malign”, walaupun perlu pengkajian lebih dalam lagi untuk melihat kebenaran “malign” deflation ini,” tambah Putu.

Walaupun demikian, berdasarkan data Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia oleh S&P Global, nilai PMI manufaktur di bulan Agustus 2024 adalah 48,9, atau turun dari 49,3 di bulan Juli 2024. Jika PMI manufaktur di bawah 50, maka kondisi ekonomi Indonesia dikatakan sedang mengalami kontraksi.

“Laporan tersebut menyebutkan bahwa terdapat bahwa ada penurunan di permintaan baru dan output selama tiga tahun yang mengakibatkan penurunan perekonomian di sektor manufaktur. Perusahaan menanggapinya dengan mengurangi karyawan, walaupun kontraksi ini dipercaya berlangsung sementara. Ini bentuk indikasi “malign” yang saya khawatirkan, karena PHK karyawan jadi tidak ada pemasukan, tidak bisa spending, alias ada pengurangan di sisi permintaan,” jelas Putu.

Putu berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif di tengah situasi kemerosotan ekonomi ini.

“Kita tidak bisa menutup mata dengan kondisi ini, ini nyata kalau masyarakat menengah tidak bisa spending karena tidak ada pemasukan. Pun spending, sudah habis lewat tabungan, tidak ada sisa, tidak bisa spending. Pemerintah harus mendorong kebijakan pro cyclical bagi kelas menengah buat dorong konsumsi. Bisa dengan insentif potongan pajak sementara, BLT. Rangsang uang beredar dari sisi moneter dan fiskal. Jangan malah kontraprodukti seperti PPN dinaikkan 12%,” tegasnya.sinpo