Begini Keadaan Ibu Kota di Hari Terakhir Berkuasanya 'The Smiling General'

Laporan:
Senin, 21 Mei 2018 | 17:40 WIB
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Jakarta, sinpo.id - Gerakan reformasi yang menuntut Presiden Soeharto mundur semakin besar pada bulan Mei 1998, tepat 20 tahun silam. Tuntutan ini makin bergema setelah Soeharto kembali terpilih sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR pada 1-11 Maret 1998.

Namun, aparat keamanan bersikap represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa kala itu. Aksi kekerasan yang dilakukan aparat keamanan itu misalnya yang dilakukan pada 2 Mei 1998, saat mahasiswa mulai bergerak ke luar kampus Universitas Indonesia di Salemba dan IKIP Jakarta di Rawamangun (sekarang Universitas Negeri Jakarta).

Bahkan, pada 8 Mei 1998, mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta bernama Moses Gatutkaca tewas setelah aparat keamanan bersikap represif dalam membubarkan demonstrasi menuntut Soeharto mundur.

Moses tewas akibat pukulan benda tumpul. Kekerasan aparat keamanan dalam menangani demonstrasi mahasiswa kembali terjadi pada 12 Mei 1998.

Dalam menangani aksi demonstrasi di depan kampus Universitas Trisakti, aparat kini menembaki mahasiswa dengan peluru karet hingga peluru tajam. Akibatnya, empat mahasiswa Trisakti tewas dan lebih dari 200 mahasiswa terluka dalam Tragedi Trisakti itu.

Catatan kelam dalam sejarah bangsa pun terjadi sehari kemudian. Pada 13 Mei 1998, terjadi kerusuhan bernuansa rasial yang mengakibatkan Jakarta dan sejumlah kota besar lumpuh. Gedung-gedung dibakar, rumah dan kendaraan dirusak. Properti milik masyarakat Tionghoa menjadi sasaran amuk massa.

Momentum Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1998 lalu direncanakan untuk menjadi puncak demonstrasi massa dalam menjatuhkan Soeharto alias people power.

Dikutip dari buku Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013) yang ditulis wartawan senior Salim Said, ini bermula saat Amien Rais mengajak masyarakat memadati lapangan Monumen Nasional untuk menuntut mundurnya Soeharto. Namun, permintaan Amien Rais itu mendapat penentangan dari ABRI.

Kekhawatiran petinggi militer memang beralasan. Sebab, jika massa gagal dikendalikan, dikhawatirkan massa akan merangsek ke sejumlah obyek vital, seperti Istana Kepresidenan, Mabes TNI AD, Studio RRI, hingga kantor kementerian lain.

Petinggi ABRI tak ingin mengambil risiko. Sejumlah tentara lengkap dengan kendaraan tempur pun diturunkan. Kawasan Monas ditutup dari segala penjuru. Barikade kawat berduri dipasang. Jakarta memang mencekam.

Melihat kondisi tersebut, Amien Rais pun membatalkan pengumpulan aksi massa di Monas pada 20 Mei 1998. Amien tidak ingin people power berubah menjadi tragedi berdarah.

Meski tak ada pengumpulan massa, Soeharto tetap terpojok. Sebab, 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita membuat langkah mengejutkan. Ginandjar bersama 13 menteri menolak permintaan Soeharto untuk bergabung dalam Komite Reformasi.

Dalam surat yang disampaikan, ke-14 menteri itu bahkan meminta Soeharto mundur. Rencana Soeharto untuk membentuk Komite Reformasi dan terjadinya transisi kepemimpinan hingga pemilu mendatang gagal.

Setelah 32 tahun berkuasa, Jenderal Besar yang menyandang lima bintang di pundak itu memilih mundur. Pada 21 Mei 1998 Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Gerakan reformasi memaksa Soeharto jatuh.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI