AJI Jakarta dan LBH Pers Catat 11 Jurnalis Jadi Korban Dugaan Kekerasaan
SinPo.id - Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat setidaknya 11 (sebelas) orang jurnalis yang melakukan peliputan di daerah Jakarta menjadi korban dugaan kekerasan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam peliputan aksi unjuk rasa penolakan RUU Pilkada di Jakarta, 22 Agustus 2024.
Hal itu diungkap Ketua AJI Jakarta
Irsyan Hasyim.
"Jumlah jurnalis dan wartawan yang menjadi korban kemungkinan masih terus bertambah mengingat kegiatan peliputan aksi demonstrasi dan penelusuran data yang masih berjalan," kata dia dalam keterangannya pada Minggu 25 Agustus 2024.
Rekan-rekan Jurnalis yang menjadi korban intimidasi dan kekerasan aparat mengalami pola-pola yang hampir sama dan serupa. Mulai dari intimidasi secara psikis, ancaman pembunuhan, penganiayaan, pemukulan yang mengakibatkan luka berat hingga kebocoran kepala. Selain itu, skema penggunaan kekuatan berlebih seperti gas air mata juga merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
AJI Jakarta dan LBH Pers berupaya untuk mendokumentasi kronologi kasus yang dialami oleh sejumlah jurnalis sebagai berikut. Melalui postingan X melalui akun @iyaslawrence, diketahui dua orang kameramen Podcast Makna Talks – Edo dan Dory terluka karena tindakan aparat kepolisian yang memaksa, tanpa peringatan, melempar gas air mata dan menyerbu secara paksa. Kejadian serupa juga dialami oleh Angga Permana – Jurnalis konteks.co.id yang mengalami luka di kepala saat meliput aksi di depan DPR.
M dan H wartawan TEMPO terkena gas air mata dan dipukul polisi akibat merekam kejadian penangkapan masa. Personel TNI dan Polri diduga memukul dan mengancam membunuh jurnalis Tempo berinisial H yang tengah meliput demonstrasi di Kompleks Parlemen DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024. Kekerasan berawal saat Jurnalis tengah merekam aparat TNI dan Polri yang diduga menganiaya seorang pendemo yang terkulai di dekat pagar sisi kanan gerbang utama Gedung DPR RI yang dijebol massa sekitar pukul 17.00 WIB.
Sementara, jurnalis IDN Times mengatakan bahwa dirinya mengalami ancaman, intimidasi dan handphone hampir dirampas oleh aparat di lokasi kejadian.
"Peliputan secara live yang dilakukan oleh salah satu Jurnalis Narasi.tv sekitar pukul 20.30 WIB juga merekam kejadian praktik intimidasi dan ditarik paksa yang dialaminya. Dirinya ditarik paksa oleh aparat untuk meninggalkan lokasi dan didorong hingga jatuh saat tengah melakukan peliputan. Seorang jurnalis Narasi.tv lainnya juga mengalami intimidasi ketika tengah meliput aksi penganiayaan yang dilakukan oleh aparat terhadap peserta demonstrasi di daerah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di sekitar gedung DPR-RI," ujarnya.
Pola yang sama juga dialami oleh Gita, jurnalis Deduktif yang lagi-lagi ditarik paksa oleh aparat.
Jurnalis Konteks.co.id dan IJTI juga mengalami luka dan robek di kepala saat meliput di depan DPR.
AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan kekerasan secara fisik, mental maupun psikologis terhadap yang dilakukan oleh Kepolisian dalam rangka menghambat dan menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 UU Pers yang menjamin hak kemerdekaan pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi serta ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
"Temuan atas tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian berupa penganiayaan yang mengakibatkan luka berat pada wartawan saat tengah menjalankan profesi merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara," ujarnya.
Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh AJI Jakarta dan LBH Pers secara rutin, kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat kepolisian seolah telah menjadi budaya yang mengakar.
Sepanjang tahun 2023, setidaknya tercatat sebanyak 89 kasus kekerasan yang menyerang jurnalis. Kondisi ini diperparah dengan kehadiran praktik impunitas melalui skema penundaan berlarut (undue delay), di mana hingga hari ini laporan terhadap penyerangan yang dialami jurnalis saat meliput tidak juga rampung meski sudah dilaporkan secara resmi ke Instansi Polri. Sanksi etik Polri tak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan dan menunjukkan indikasi aparat Polri yang kebal hukum mengingat tak ada satupun yang berakhir di meja pengadilan.
Meski jurnalis telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi, tetap saja jadi sasaran amuk polisi. Dalih polisi ‘kartu pers wartawan tak kelihatan’, maupun rencana penggunaan Pita Merah-Putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi.
Berdasarkan peristiwa-peristiwa tersebut, AJI Jakarta dan LBH Pers mendesak:
1. Polri wajib menghentikan segala bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap kerja-kerja jurnalistik dan mengusut tuntas seluruh kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dalam peliputan unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada serta menindaklanjuti pelaporan kasus serupa yang pernah dibuat di tahun-tahun sebelumnya;
2. Mengimbau pimpinan redaksi untuk ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban;
3. Mendorong ikut serta masyarakat sipil sebagai citizen journalist untuk ikut membantu seluruh proses pengungkapan praktik-praktik kekerasan terhadap kerja jurnalistik;
4. Mengimbau para jurnalis korban kekerasan pun intimidasi aparat agar berani melaporkan kasusnya, serta memperkuat solidaritas sesama jurnalis.