Kemerdekaan Republik Indonesia

Saksi Bisu Proklamasi, Dari Rengasdengklok ke Menteng

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 16 Agustus 2024 | 07:00 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)

Keresahan kaum muda mendorong kemerdekaan kala itu, ada dinamika  penculikan kaum tua diwakili oleh Soekarno dan Mohammad Hatta hingga pembacaan proklamasi yang memerdekan bangsa Indonesia sejak 79 tahun lalu.        

SinPo.id -  Rumah tua di Jalan Perintis Kemerdekaan nomor 33 dusun Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat itu terasa asri oleh keteduhan pohon manga di halaman. Rumah milik mendiang Djiauw Kie Siong itu masih mempertahankan indentitas masa lalu sebagai tempat berunding Soekarno  dan Mohammad Hatta  bersama sejumlah pemuda, pada 15 hingga 16 Agustus pagi 1945.  

Jauh sebelumnya digunakan untuk singgah Soekarno dan Hatta, rumah yang kini dirawat Djiauw Kiang Lin, generasi ketiga keluarga Djiauw Kie Siong sebelumnya berada di pinggir kali Citarum. Namun dipindah sekitar 50 meter dari kokasi semula karena sering banjir.

“Rumah kayu dibongkar dan dipasang kembali di kokasi ini. Bahan dari kayu menggunakan pasak tanpa paku sehingga mudah dibongkar,” ujar Djiauw Kiang Lin atau akrab disapa Yanto, kepada reporter SinPo, Sri Dewi Handayani awal Agustus 2024 lalu.

Bangunan itu sebagai saksi bisu Soekarno dan Mohammad Hatta dibawa dari Jakarta didesak agar secepatnya memproklamirkan republik Indonesia. Kedua tokoh sentral itu  didesak oleh sejumlah pemuda yang biasa disebut kelompok Menteng 31, di antaranya Soekarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh.

Bangunan yang kini dikenal museum Rengasdengklok itu saksi penting sekaligus monumen kunci saksi bisu ketika pemuda mendorong proklamasi kemerdekaan di tengah situasi menegangkan.

Halnya rumah warga dengan budaya kental Tionghoa, ruang utama rumah museum Rengasdengklok terdapat  altar sembahyang tempat keluarga Djiauw Kie Siong dulu beribadah. Sedangkan dua kamar tidur dengan bale kayu dulu digunakan oleh tokoh proklamasi masih tertata rapi seperti dulu digunakan.

“Kayunya masih asli tak pernah diganti,” ujar  Yanto menjelaskan.

Menurut Yanto, pada malam 15 Agustus  1945 kakeknya Djiauw Kie Siong sengaja mengosongkan rumah untuk pertemuan Soekarno Hatta dan para pemuda. Setelah berunding lama, akhirnya  di rumah itu diputuskan untuk menggelar proklamasi secepatnya.

“Rumah ini menjadi tempat rapat,” ujar Yanto menjelaskan.

Kini rumah bersejarah itu menjadi cagar budaya. Yanto yang mewarisi bangunan itu mendapat bantuan Rp1 juta dari lembaga cagar budaya untuk perawatan. Bantuan itu naik dari pemberian awalnya Rp200 ribu, sedangkan untuk pajak bangunan dibayar sendiri. Pemerhati sejarah Wijanarto, menilai Soekarno dan Hatta sengaja diculik oleh beberapa kelompok pemuda dibawa ke rumah Rengasdengklok milik Djiauw Kie Siong dengan pertimbangan keamanan.

“Para pemuda dapat informasi dari para kombatan yang punya link dengan Peta. Jadi tahu situasi yang memungkinkan Jepang tak bisa mengendus. Rumah Djiauw Kie Siong menjadi pilihan karena dianggap aman,” ujar Wijanarto

Kebetulan sang tuan rumah seorang Tionghoa yang nasionalis. Menurut Wijanarto, Soekarno dan Hatta hanya menginap semalam. “Ini intervensi Ahmad Soebardjo sehingga dipindah ke Jakarta, yang punya link perwira Kaigun, Laksamana Tadashi Maeda,” ujar Wijanarto menjelaskan.

Djiauw Kie Siong Sang Nasionalis Sejati

Dalam sejumlah catatan menyebutkan Djiauw Kie Siong merupakan warga peranakan Tionghoa yang lahir di Pisangsambo, Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat, pada tahun 1880. Djiauw berprofesi sebagai petani merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan untuk rapat gelap mendesak proklamasi.

Djiauw Kiang Lin atau biasa disapa Yanto, perawat museum Rengasdengklok generasi ketiga Djiauw sangat memegang erat wasiat mendiang agar yang menempati rumah bersejarah itu harus bersabar. Tak dibolehkan merengek minta-minta sesuatu kepada pihak mana pun. Bahkan, harus rela setiap hari menunggui rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui sejarah perjuangan bangsa.

Tercatat Djiauw meninggal dunia pada 1964, namanya hampir tidak dikenal ataupun tercatat dalam sejarah. Namun Mayjen Ibrahim Adjie pada saat masih menjabat sebagai Pangdam Siliwangi, pernah memberikan penghargaan kepada Djiauw, hal itu dibuktikan sebuah piagam nomor 08/TP/DS/tahun 1961.

Merancang Revolusi dari Menteng

Bangunan khas kolonial di jalan Imam Bonjol, nomor 1 Menteng, Jakarta Pusat itu masih menyimpan aura sejarah tinggi.  Pada tahun 1945 gedung itu ditinggali seorang perwira angkatan laut Jepang,  Laksamana Tadashi Maeda. Sejumlah catatan menyebut Gedung dibangun pada 1927 sebagai kediaman resmi konsulat Kerajaan Inggris.

Bangunan itu merupakan salah satu dari empat rumah tinggal besar di sekitar Taman Surapati selain rumah Duta Besar Amerika Serikat, Rumah Dinas Gubernur DKI, Rumah Tuan Koch  yang telah dibongkar. 

Gedung yang kini menjadi museum teks proklamasi itu dirancang Johan Frederik Lodewijk Blankenberg, menjadi salah satu bangunan di daerah yang dirancang sebagai kota taman atau garden city pertama di Indonesia oleh Belanda.

Di Gedung inilah Soekarno dan Mohammad Hatta bersama anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merumuskan kemerdekan. Hal itu dibuktikan sebuah ruang tempat para perumus merancang konsep teks Proklamasi Kemerdekaan.  Dalam salah satu ruangan ada patung Sayuti Melik yang sedang mengetik naskah proklamasi ditemani oleh BM Diah. 

Selain itu terdapat ruang utama yang menampilkan meja diplomasi yang menampilkan teks Proklamasi ditulis menggunakan mesin ketikan dengan tanda tangan Soekarno.  Sedangkan di ruangan samping kiri ada diaroma Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo ketika sedang menandatangani teks proklamasi.  Selain itu terdapat ruangan khusus yang dulu digunakan sebagai tempat membicarakan konsep negara. 

Pemerhati sejarah Wijanarto, menyebut Gedung yang kini menjadi museum teks proklamasi  sebagai tempat Soekarno-Hatta serta anggota BPUPKI menyambut Proklamasi usai kembali dari Rengasdengklok pada 16 agustus 1945 sore hari. 

“Perwira Jepang itu memberi jaminan keamanan meminjmankan rumahnya karena simpatik terhadap Indonesia. Di rumah jalan Imam Bonjol dilanjutkan rapat BPUPKI, termasuk menghasilkan coretan tangan teks proklamasi,” ujar Wijanarto .

Mengutip pernyataan serawan Jepang Aiko Kurasawa, Wijanarto menyebut persiapan  proklamasi di rumah laksamana Maeda membuktikan kemerdekaan bukan dari Jepang. “Tapi (Laksamana Maeda) hanya memfasilitasi, tak ada konsep dari Jepang,” katanya. (*)

BERITALAINNYA
BERITATERKINI