Mendikbud Bicara Soal Guru Honerer: Kesejahteraannya Masih Memprihatinkan
Jakarta, sinpo.id - Kesejahteraan guru menjadi salah satu hal yang harus diperbaiki dalam menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini. Tak jarang, masih banyak guru, maupun guru honorer yang belum mendapatkan kesejahteraan layak dalam hal penerimaan upah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy pun angkat bicara soal masih minimnya kesejahteraan yang diterima para tenaga pengajar di Indonesia.
Mulai dari peraturan guru honorer itu sendiri, hingga masalah penghasilan yang bisa dibilang sangat rendah, bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
"Guru honorer itu sebetulnya sudah tidak ada, karena memang menurut peraturan tidak boleh ada lagi rekrutmen guru honorer," kata Muhadjir di Jakarta, Jumat (4/5/2018).
Namun, seiring berjalannya waktu tenaga pengajar masih terus dibutuhkan untuk mengisi kekosongan dari guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Terlebih dengan adanya moratorium pengangkatan PNS dari pemerintah beberapa waktu lalu.
Untuk mengisi kekosongan tersebut, maka pihak sekolah mau tak mau harus mencari tenaga pengajar baru yang dapat diperbantukan. Dari sana lah guru honorer kemudian bisa masuk dan membantu mengajar.
Oleh sebab itu, guru honorer merupakan tanggung jawab dari pihak sekolah yang melakukan pengangkatan untuk membantu kegiatan belajar mengajar di sekolahnya.
"Jadi secara struktural memang tidak memiliki hierarki dengan instansi terkait, jadi itu karena memang diangkat oleh kepala sekolah, jadi memang yang harus bertanggungjawab atas yang bersangkutan itu, ya kepala sekolah masing-masing," jelasnya.
Muhadjir pun melanjutkan, rendahnya gaji guru honorer saat ini lantaran hanya dibiayai oleh pihak sekolah yang mempekerjakannya. Sebab, guru honorer tidak terikat pada instansi manapun, melainkan diangkat oleh kepala sekolah.
"Gaji kecil karena tergantung kemampuan dari dana sekolah itu sendiri," kata Muhadjir.
Biasanya, kata Muhadjir, pihak sekolah menggaji guru honorer menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Walaupun, tambah dia, sebetulnya dana BOS tidak diperkenankan untuk menggaji guru honorer tersebut.
Selain dari dana BOS, kata Muhadjir, ada juga beberapa pemerintah daerah (Pemda) yang sengaja menganggarkan dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerahnya (APBD) khusus untuk guru honorer.
Langkah itu jauh lebih baik dibanding menggaji guru honorer dengan menggunakan dana BOS, karena lebih mensejahterakan dan tak mengganggu anggaran sekolah. Sayangnya, masih sedikit Pemda yang menganggarkan dananya tersebut.
"Daerah-daerah (banyak) tidak berani (mengeluarkan) dana untuk itu, karena dikhawatirkan jadi temuan, karena yang mengangkat (guru honor) yang bersangkutan adalah kepala sekolah, bukan kepala dinas," tuturnya.
Oleh sebab itu, Muhadjir mengimbau kepada setiap Pemda untuk berani dan bersedia menganggarkan APBD-nya untuk guru honorer. Namun, Pemda juga harus bisa selektif dalam memilih guru honorer yang layak mengajar.
Muhadjir juga mengakui bahwa kesejahteraan guru honorer saat ini masih memprihatinkan. Guru honorer belum mendapatkan upah layak sebagai tenaga pengajar.
"Ya memang di beberapa tempat (guru honorer) masih memprihatinkan," kata Muhadjir.
"Saya hanya bisa mengimbau kepada masing-masing Pemda untuk peduli tentang nasib guru honorer. Dan saya minta juga kepala sekolah untuk tidak gampang, tidak mudah dalam merekrut guru honor pengganti itu, terutama yang tidak memenuhi kualifikasi," jelas dia.

