Yusril Anggap Ide Pembentukan Mahkamah Pancasila Absurd

Laporan: Tio Pirnando
Kamis, 13 Juni 2024 | 15:58 WIB
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. (SinPo.id/dok. Pribadi)
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. (SinPo.id/dok. Pribadi)

SinPo.id - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra menganggap, usulan pembentukan Mahkamah Pancasila (MP) yang dikonsolodaiskan oleh kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), untuk menjaga etika dan perilaku warga negara, khususnya para pejabat, sesuatu yang absurd. Hal ini jika ditelaah dari pandangan filosofis bernegara dan hierarki norma di Indonesia. 

"Lima dasar dalam landasan filosofis bernegara itu adalah rumusan filosofis, bukan normatif. Sebagaimana rumusan norma peraturan perundang-undangan dan code of conduct," kata Yusril dalam keterangannya, Kamis, 1e Juni 2024.

Yusril menjelaskan, Pancasila itu adalah landasan filosofis (filosofische grondslaag) bernegara yang dirumuskan oleh the founding fathers bangsa dengan susah payah di 1945 yang ditempatkan di dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebagai landasan filosofis, kedudukannya lebih tinggi dari norma-norma dasar penyelenggaraan negara. Hal ini sebagaimana tertuang di dalam teks pasal-pasal UUD 1945. 

Menurut dia, norma di dalam pasal UUD NRI 1945 itu seharusnya dirumuskan berdasarkan landasan filosofis bernegara di dalam lima dasar Pancasila itu. 

"Begitu pula norma undang-undang, selain merupakan penjabaran lebih lanjut dari norma konstitusi, norma itu juga merupakan transformasi dari landasan filosofis Pancasila itu dalam arti praktis penyelenggaraan negara," jelas Yusril. 

Selain itu, lanjut Yusril, etika para pejabat atau penyelenggara negara, tidaklah berkaitan secara langsung dengan landasan filosofis bernegara dalam lima dasar Pancasila, melainkan suatu "code of cunduct" yang berisi kewajiban dan larangan yang berlaku bagi penyelenggara negara. Dan, sumber perintah untuk menyusun "code of conduct" itu berasal dari  norma undang-undang. 

"Contohnya, Undang-Undang KPK  memerintahkan kepada Dewan Pengawas KPK untuk

merumuskan kode etik KPK, UU ASN memerintahkan untuk merumuskan Kode Etik ASN. Begitu juga UU Advokat memerintahkan agar organisasi advokat merumuskan Kode Etik Advokat. Demikian juga profesi-profesi yang lain seperti Notaris, Dokter, Akuntan dan seterusnya," tegas Yusril. 

"Karena kode etik atau 'code of conduct' itu diperintahkan perumusannya oleh undang-undang, begitu pula untuk

menegakkannya perlu dibentuk dewan kehormatan dan sejenisnya oleh undang-undang, maka kedudukan norma kode etik atau code of conduct itu tidak mungkin lebih tinggi dari undang-undang," sambungnya. 

Jadi, Mahkamah Kode Etik atau Dewan Kehormatan kedudukannya tidak akan lebih tinggi dari badan peradilan yang menjalankan fungsi menegakkan hukum dan UU. 

Oleh karena itu, Yusril menegakkan, berdasarkan uraian di atas, gagasan untuk membentuk Mahkamah Pancasila untuk memeriksa pelanggaran kode etik atau code of conduct penyelenggara negara adalah sebuah gagasan yang absurd. 

"Karena itu, gagasan membentuk Mahkamah Pancasila adalah gagasan yang tidak pada tempatnya jika dilihat dari pandangan filosofis bernegara kita, serta hierarki norma yang berlaku di negara kita ini," tutup Yusril. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI