Kemenkes: Pandemic Treaty Dorong Negara Berkembang Dapatkan Akses Kesehatan

Laporan: Tim Redaksi
Minggu, 02 Juni 2024 | 05:25 WIB
Ilustrasi Covid-19
Ilustrasi Covid-19

SinPo.id -  Pengalaman pahit COVID-19 mendorong pembentukan instrumen internasional baru untuk mengatasi persoalan kesiapsiagaan dan respons pandemi bernama Pandemic Treaty/Pandemic Agreement. Inisiatif ini berasal dari WHO dan didukung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bersama 25 kepala negara/pemerintahan lainnya.

Pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa banyak negara tidak mampu membentengi kesehatan masyarakatnya. Sistem ketahanan kesehatan global, terutama di negara berkembang, terlihat sangat rapuh, mulai dari kekuatan finansial, ketersediaan akses terhadap vaksin, obat, dan diagnostik (VTD).

Selama pandemi COVID-19, terlihat adanya kesenjangan antara negara maju (global north) dengan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah atau LMICs (global south). Isu nasionalisme sempit dan populisme, pendanaan global, hak cipta, berbagi patogen, serta manfaat dari produk yang berkaitan dengan pandemi semakin memperbesar kesenjangan atau a great divide global.

“Kesenjangan tersebut menyebabkan, hingga saat ini, masih ada 30% penduduk dunia yang belum pernah sekalipun mendapatkan vaksin,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. M Syahril.

Menurut dr. Syahril, Pandemic Treaty diharapkan dapat mendorong negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan akses terhadap vaksin, obat, dan alat diagnostik (VTD) yang setara dengan negara maju.

“Proses negosiasi sudah berlangsung sejak Desember 2021, tetapi karena belum mencapai kesepakatan, sidang World Health Assembly ke-77 memutuskan untuk memperpanjang negosiasi hingga sidang WHA berikutnya,” ujar dr. Syahril.

Dalam proses negosiasi tersebut, Indonesia berpartisipasi secara aktif dalam perundingan Pandemic Treaty pada Intergovernmental Negotiating Body (INB) dan memperjuangkan kepentingan nasional, terutama untuk isu-isu strategis seperti sistem surveilans, transfer teknologi, dan kesetaraan akses dalam menghadapi pandemi.

Negosiasi yang sangat alot telah dilakukan lebih dari 10 kali hingga batas waktu pada tanggal 24 Mei 2024. Namun, masih ada beberapa pasal yang belum disepakati, terutama mengenai Pathogen Access and Benefit Sharing (PABS), pencegahan dan instrumen One Health, transfer teknologi dan ilmu pengetahuan, no-fault compensation, dan pendanaan.

“Pemerintah Indonesia akan tetap memperjuangkan prinsip kesetaraan antara negara maju dan negara berkembang agar dapat masuk dalam Pandemic Treaty,” lanjut dr. Syahril.

Secara spesifik, ada empat poin yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dalam komponen Pandemic Treaty, yakni Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS), instrumen One Health, transfer teknologi, dan pendanaan. Empat poin ini terkait dengan kesenjangan antara negara maju dan berkembang.

Mengenai PABS, yang menunjukkan kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi, Pemerintah Indonesia mendorong agar setiap data sharing, khususnya yang melibatkan patogen dan informasi sekuens genetik (genetic sequence information), disertai pembagian manfaat (benefit-sharing) yang setimpal.

Selain itu, pemerintah juga mendorong adanya upaya untuk memastikan adanya pengaturan internasional mengenai standar data dan interoperabilitas, di mana Indonesia telah menginisiasi Material Transfer Agreement (MTA) untuk spesimen virus avian influenza (flu burung).

Selanjutnya, Pemerintah Indonesia mendorong pembentukan instrumen One Health untuk mengatur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara komprehensif yang dapat dilaksanakan negara berkembang dengan dukungan negara maju.

Kemudian, Pemerintah Indonesia mendorong transfer teknologi yang berkeadilan untuk kebutuhan kesehatan masyarakat. Transfer teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan negara berkembang untuk menjadi hub dalam membangun kapasitas manufaktur lokal guna menciptakan kemandirian dalam produksi vaksin, terapi, dan diagnostik (VTD).

Mengenai perizinan, Indonesia mendorong perizinan yang bersifat transparan dan non-eksklusif, khususnya saat pandemi. Selain itu, Indonesia mendorong upaya untuk memastikan agar teknologi dan inovasi dapat diakses oleh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang.

Mengenai pendanaan, Pemerintah Indonesia mendukung pentingnya pendanaan yang setara dan dapat diakses oleh seluruh negara yang membutuhkan, termasuk negara berkembang, untuk implementasi Pandemic Treaty. Pendanaan ini dapat dilakukan melalui mekanisme pembiayaan yang telah ada seperti Pandemic Fund dengan sedikit penyesuaian sesuai dengan konteks Pandemic Treaty.

Indonesia akan mengupayakan agar negosiasi Pandemic Treaty selesai secepatnya. Indonesia juga akan terus memperjuangkan kesetaraan akses untuk mendorong transfer pengetahuan dan teknologi antar negara sehingga dapat membangun kapasitas industri farmasi dengan prinsip dasar yang menjamin kesetaraan (equity) antara negara maju dan berkembang.

“Pada saat bersamaan, Pemerintah RI akan terus memperkuat legislasi di tingkat nasional agar siap menghadapi ancaman pandemi lainnya,” kata dr. Syahril.

Pada kesempatan itu, dr Syahril juga menjelaskan kesalahpahaman tentang peran WHO yang beredar selama pandemi COVID-19, yakni WHO memiliki kewenangan untuk mengatur negara dan penduduk di dunia selama pandemi.

Dia menegaskan, anggapan tersebut tidak benar. WHO tidak memiliki wewenang untuk mendikte negara atau penduduk. WHO tidak dapat mengendalikan pergerakan penduduk melalui paspor digital, pemaksaan vaksinasi, dan lockdown, dan pengerahan militer.

Menurut dr Syahril, kedaulatan negara tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Keputusan terkait penanganan pandemi di setiap negara menjadi tanggung jawab pemerintah negara masing-masing.

“Cukup sudah jutaan nyawa melayang, kehilangan pekerjaan, penyandang gangguan mental, kerugian ekonomi yang masif selama pandemi COVID-19. Jangan kita ulangi kesalahan yang sama. Kita harus mewariskan dunia yang lebih aman dan lebih baik bagi anak cucu kita,” tutup dr. Syahril.sinpo

Komentar: