Soal Kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada, Bawaslu Akui Butuh Perbaikan Regulasi

Laporan: Sigit Nuryadin
Selasa, 28 Mei 2024 | 17:36 WIB
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja. (SinPo.id/Dok. Bawaslu)
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja. (SinPo.id/Dok. Bawaslu)

SinPo.id - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja angkat bicara ihwal wacana perubahan atau kodifikasi (pembukuan hukum dalam suatu kumpulan undang-undang dalam materi yang sama) antara undang-undang (UU) Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada). 

Bagja mengatakan, sebagai bagian penyelenggara pemilu yang menjadi pelaksana amanah undang-undang, dia menilai perlu ada ada perbaikan regulasi ke depannya dalam memberikan kepastian hukum.

"Bawaslu menerima apa saja yang akan diamanatkan undang-undang karena kami hanya sebagai pelaksana. Tetapi, kami menitipkan ini (harapan perbaikan regulasi) kepada teman-teman Bappenas (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) atau pemerintah, akademisi, dan pemantau pemilu," kata Bagja dalam keterangannya, Selasa, 28 Mei 2024.

Menurut Bagia, butuh adanya sejumlah perbaikan pada regulasi seperti kodifikasi UU Pemilu dan UU Pemilihan atas beberapa alasan. Urgensi tersebut karena masih ada tumpeng tindih atau kontradiksi norma dalam  yang berbeda atau adanya 'redundant' norma. 

"Lalu adanya pengaturan yang berbeda atas isu yang sama oleh penyelenggara yang sama, aturan rancu atau multi tafsir, dan perlu adanya kepastian hukum. Materi kodifikasi ini dari UU Pemilu, UU Pilkada, putusan MK, dan kebutuhan norma hukum atas suatu keadaan atau terjadinya kekosongan hukum," ungkap dia.

Dia pun berujar, beberapa isu strategis dalam proyeksi kebutuhan norma dalam kodifikasi UU, secara garis besar yakni mengenai kampanye, kelembagaan, kewenangan, penegakan hukum, politik uang, syarat calon, sistem informasi, dan lainnya. 

"Misalnya soal kampanye, pertama ada perbedaan definisi dalam UU Pilkada dan Pemilu. UU Pilkada tidak menjelaskan siapa subjek yang melakukan kampanye dan juga tidak memuat objek citra diri," tutur Bagja. 

Kemudian, kata dia, larangan kampanye di tempat pendidikan yang perlu mengadospi putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab dan tanpa kehadiran tanpa atribut kampanye. 

"Lalu, pelaksana kampanye yang mana dalam UU Pilkada hanya ada tim kampanye saja. Idealnya diatur sebagaimana UU Pemilu yang juga didaftarakan. Keempat, metode kampanye yang dalam UU Pilkada belum memuat metode kampanye melalui media sosial dan internet dan metode rapat umum. Kelima, mengenai larangan kampanye yang perlu memuat norma penjelasan tentang larangan penggunaan fasilitas yang berkaitan dengan jabatan," ujarnya. sinpo

Komentar: