Komnas Ajak Perkuat Peran Keluarga Jadi Tempat Aman Anak
SinPo.id - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengajak masyarakat untuk memperkuat peran keluarga sebagai ruang aman dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta bebas dari diskriminasi. Hal ini dalam rangka peringatan Hari Keluarga Sedunia atau International Day of Families yang jatuh tiap tanggal 15 Mei.
Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah, juga mengajak negara untuk memperkuat peran keluarga dengan cara mengoptimalkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan dan anak, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga seharusnya merupakan tempat aman dan bertumbuhnya potensi kebaikan secara maksimal bagi seluruh anggota keluarganya. Namun fakta dan data yang terus muncul sepanjang tahun memperlihatkan bahwa sebagian rumah bukan lagi ruang aman dan nyaman, tetapi justru ruang di mana kekerasan dibangun sedemikian rupa dan ditutupi," kata Alimatul dalam keterangannya, Kamis, 16 Mei 2024.
Menurut Alimatul, kekerasan kadang muncul lantaran minimnya penghargaan terhadap perbedaan dalam sebuah keluarga, seperti perbedaan keyakinan atau cara pengasuhan anak.
Komnas Perempuan mencatat, sejak 2021, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi laporan tertinggi. Dalam laporan 21 Tahun Catatan Tahunan Komnas Perempuan, tercatat 2,5 juta kasus kekerasan di ranah personal, dengan kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi yang paling banyak dilaporkan, yaitu 484.993 kasus, dan kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) oleh anggota keluarga mencapai 17.097 kasus.
Hal ini menunjukkan bahwa tujuan UU PKDRT untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban masih belum tercapai secara optimal.
Sementara itu, Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Theresia Iswarini mengatakan, selama 20 tahun pelaksanaan UU PKDRT, banyak miskonsepsi terkait norma dan implementasinya. Permasalahannya bukan pada norma, melainkan pelaksanaannya.
"Selain mengikuti pemenuhan unsur pidana, pelaksanaan UU PKDRT seharusnya mengikuti tujuan penghapusan KDRT dalam Pasal 4 UU PKDRT yaitu melindungi perempuan sebagai kelompok rentan, menindak pelaku dan memulihkan korban. Belum optimalnya layanan penanganan dan pemulihan seperti terbatasnya rumah aman, konselor, visum masih berbayar, tidak ada BPJS bagi korban kekerasan terhadap perempuan, terbatasnya konselor adalah kendala lain yang dihadapi," tutur dia.
Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Siti Aminah Tardi, menambahkan, pelaksanaan UU PKDRT masih terkendala oleh perspektif aparat penegak hukum, keterbatasan sarana prasarana, dan budaya yang menganggap KDRT sebagai persoalan privat.
UU PKDRT kini diperkuat dengan UU TPKS, terutama dalam menangani kekerasan seksual dalam rumah tangga.
"UU PKDRT tidak memandatkan peraturan pelaksana. Akibatnya, ketentuan mengenai perlindungan sementara, kewajiban menjaga jarak pelaku dengan korban dan sanksi untuk mengikuti program konseling belum dilakukan. Hal ini harus kita pikirkan bersama untuk mengoptimalkan norma-norma UU PKDRT yang progresif tersebut. Demikian juga dalam penanganan KDRT, lembaga layanan dan kepolisian belum dibekali penilaian tingkat kebahayaan KDRT, sehingga korban kerap dikembalikan ke rumahnya yang berakibat pada memburuknya kekerasan dan berakhir dengan femisida," kata Siti.